Selasa, 01 Agustus 2017

Alkoholisme Papua sebuah Manivestasi Anti Struktur.

Orang Papua di kenal dan mendapat stigma "pemabuk". Stigma ini memang tidak dapat dipungkiri karena orang Papua, khususnya para lelaki suka mabuk, walupun demikian ada pula lelaki Papua yang tidak mengkonsumsi minuman beralkohol. Mengapa orang Papua suka mabuk?. Berikut ini kita akan mengungkapkan beberapa fakta yang dapat memberikan kita jawaban tentang kebiasaan mabuk ini.

Jika kita menoleh ke sejarah kehidupan sosial orang Papua pada masa Pemerintah Belanda di Papua, kita mendengar berbagai ceritera tentang masa "keemasan" orang Papua. Masa di mana orang Papua menjadi anak emas atau anak manja orang Belanda. Orang Papua yang hidup dalam jaman ini mengatakan bahwa " kitorang hidup di jaman Belanda semua kebutuhan hidup terpenuhi. Kitorang hidup aman dan damai. Kitorang tidak menderita seperti sekarang ini". Kalimat ini merupakan ungkapan perasaan orang Papua terutama mereka yang pernah menikmati kehidupan Jaman Belanda dan membuat perbedaan dengan realitas hidup yang dialami sekarang.

Kalimat tersebut sebenarnya berangkat dari pengalaman hidup yang dialami orang Papua. Ketika pada tanggal 1 Mei 1963, Papua berintegrasi dengan NKRI, orang Papua diperkenalkan dengan sistem pemerintahan Baru dan budaya yang baru pula. Letak geografis Pulau Papua yang sangat jauh menyebabkan daerah ini kurang mendapat perhatian dari Negara. Orang Papua mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Harta benda peninggalan Belandan di rampok dan di bawah pergi oleh oknum - uknum tidak bertanggung jawab. Ketidak puasan terhadap situasi yang terjadi menyebabkan sehingga terjadi pemberontakan OPM tanggal 28 Juli 1965 di Manokwari. Padahal baru tiga tahun masyarakat Papua berintegrasi dengan NKRI.

Setelah peristiwa itu berlalu, kehidupan orang Papua dalam rezim Orde Baru terus mengalami tindakan kekerasan, intimidasi, eksploitasi sumber daya alam dan perampasan tanah ulayat. Fenomena itu masih terus berlangsung hingga kini. Ketidak mampuan orang Papua dalam menghadapi tindakan - tindakan kekerasan terstruktur ini mengakibatkan mereka berada dalam situasi liminal. Salah satu jalan keluar untuk melakukan "protes sosial" adalah dengan mengkonsumsi minuman keras atau mabuk. Dalam kondisi mabuk inilah pelampiasan emosi yang terpendam, berbagai tindak kekerasan di lakukan.

Fenomena konsumsi minuman beralkohol yang awalnya sebagai bentuk perlawanan atau "protes sosial" terhadap struktur yang ada, lambat - laun menjadi bagian dari gaya hidup. Bahkan anak remaja dalam usia dini belajar mengkonsumsi alkohol sebagai media untuk bersosialisasi. Sehingga dikenal istilah "teman mabuk".

Para pelaku bisnis yang peka melihat peluang usaha pun memperlebar usahanya dengan mendistribusi penjualan minuman keras dalam berbagai jenis dengan harga yang bervariasi. Bahkan minuman oplosan pun ikut masuk dan diperdagangkan secara bebas. Dengan mengantongi ijin usaha/ perdagangan miras dari PEMDA membuat para pedagang semakin leluasa berdagang miras dengan meraup keuntungan sangat besar.

Dengan semakin maraknya perdagang miras legal dan ilegal mengakibatkan jumlah konsumsi terus meningkat. Kebiasaan ini terus berlanjut pada generasi muda Papua,khususnya kaum lelaki. Tanpa disadari konsumsi minuman beralkohol ini mengakibatkan kecanduan dan mengakibatkan kematian pada lelaki usia produktif 19 -45 tahun.

Kondisi ini tentunya tidak dapat diselesaikan dengan hanya membuat dan mengesyahkan pelaksanaan PERDA MIRAS tetapi juga PEMDA PAPUA perlu berupaya mendirikan pusat rehabilitasi bagi para pemabuk. PEMDA juga seyogyanya berupaya membuat program - program pembangunan yang dapat melibatkan generasi muda, terutama para lelaki, seperti pembangunan dalam bidang olah raga, seni dan budaya. Membuat event - event olah raga, seni dan budaya serta melibatkan mereka sehingga tidak ada waktu luang yang memberi ruang kepada mereka untuk bertindak menyimpang.

Jumat, 07 Juli 2017

PRODUK LOKAL PAPUA BUTUH PERLINDUNGAN HUKUM



Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah, kebhinekaan budaya dan bahasa. Kekayaan alam flora dan kekayaan alam fauna dengan keeksotisan tersendiri. Masyarakat asli Papuapun memiliki kearifan lokal dalam pengembangan flora dan fauna, khususnya tanaman pangan dan tanaman perkebunan.

Orang Dani memiliki kearifan lokal budi daya tanaman ubi yang terkenal di dunia (Muller, 2008) orang Dani dikenal sebagai petani tradisional yang mampu melakukan pertanian ubi jalar dengan metode teras sering. Mengklasifikasikan ubi jalar ke dalam beberapa jenis dan dikenal sebagai metode bercocok tanam tradisional yang rumit.

Orang Sentani mengkasifikasikan tanaman/buah  matoa ke dalam 12 (dua belas) jenis, yaitu: (1) khabelau, buah matoa ini berwarna kuning; (2) Igwa, buah matoa berwarna merah; (3) Anokhong, buah matoa berwarna hijau dengan bintik – bintik merah; (4) Phangga Hai, warna buah merah muda kekuning- kuningan; (5) Foowa, buah matoa berwarna hijau kekuning-kuningan  dan (6) Hingfale, warna kuning tua menyala; (7) Ponggouw, warna merah bintik – bintik; dan  (8) Rawkhobhow, buah matoa dengan warna kulit hijau kemerah- merahan; (9) Igwa Feemea, warna buah merah kehitaman; (10) khombu, warna buah warna merah tua memiliki kulit tipis dan Igwa (11). Hokholi, warna merah muda tetapi isinya tidak menutupi seluruh permukaan biji; dan (12) Khabelauw Yepha Raikele, warna kuning bintik – bintik hitam. (Nauw Monica, 2019).

Orang Karoon di Kepala Burung Papua dengan kearifan lokal membudidaya tanaman pisang serta mengklasifikasikan dalam beberapa Jenis. Orang - orang Papua di pesisir dan rawa  memiliki kearifan membudi daya tanaman pinang dan  sagu. Orang - orang Pedalaman dan pegunungan Papua memiliki pengetahuan budi daya tanaman buah merah.

Produk lokal yang sarat dengan nilai budaya dalam kehidupan orang asli Papua  ini lambat laun akan hilang dan tidak diakui sebagai produk asli Papua karena terdapat banyak produk imitasi di luar Papua.  Hak sebagai bagian dari kekayaan pengetahuan lokal (Ingenius knowlidge) akan hilang karena telah  diambil alih oleh orang luar.  Untuk itu produk lokal sebagai wujud kekayaan pengatahuan masyarakat lokal Papua perlu dilindungi oleh Peraturan Daerah (PERDA).  Dengan pengesahan dan pemberlakuan  PERDA tersebut dapat   melindungi hak - hak masyarakat Papua dalam mengelola produk lokal tersebut. Fenomena  ini jangan dipandang sepele, karena belakangan ini produk lokal Papua seperti Matoa dan Buah merah di jual di mal - mal dan supermarket di Pulau Jawa dengan mengklaim sebagai produk asal dari daerah tertentu di Jawa. 

Sewajarnya pemerintah daerah Papua belajar dari daerah lainnya, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memliki Peraturan Daerah tentang Salak Pondoh sebagai tanaman asli DIY sehingga, jika ada pihak - pihak tertentu yang ingin membudi dayanya harus melalui prosedur tertentu. Pemerintah Daerah Papua juga seyogyanya  membuat dan mengesahkan Peraturan Daerah yang melindungi produk lokal Papua mendapat perlindungan hukum serta  nilai - nilai kearifan lokal orang  Papua tentang budi daya tanaman pangan dihargai oleh orang lainnya. 

Papatah Banyak Anak Banyak Rejeki dalam Perspektif Orang Papua.

Pepatah kuno "banyak anak, banyak rejeki" pada saat ini dipandang tidak relevan lagi karena penduduk dunia semakin padat khususnya penduduk Indonesia. Namun sebaliknya pepatah ini masih tetap relevan bagi penduduk di bumi Cenderawasih. Mengapa demikian?. Populasi penduduk asli Papua setiap tahun berkurang disebabkan oleh penyakit HIV- AIDS dan kecanduan minuman beralkohol yang mengakibatkan kematian laki - laki usia produktif 19 - 45 Tahun. Fenomena ini jika terus dibiarkan, maka beberapa tahun mendatang nasib orang Papua seperti orang Indian America dan orang Aborigin di Australia.

Belakangan ini yang sedang trend di Papua yakni melahirkan dengan cara operasi caesar atau cesar. Fenomena ini terjadi pada perempuan - perempuan Papua dalam usia produktif 20 - 30 tahun. Alangkah bijaksana, jika tindakan medis ini digunakan untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayinya. Tetapi, sebaliknya sangat  ironi, jika tindakan ini dilakukan untuk membatasi jumlah penduduk di Pulau yang besar ini. Fenomena persalinan dengan cara cesar pada saat ini telah mengundang banyak interpretasi  di kalangan orang Papua khususnya kaum perempuan. Perempuan Papua yang secara fisik dan alami dapat melahirkan dengan baik bahkan jumlah anak relatif lebih dari 5 anak cenderung sehat. Mengapa beberapa tahun belakangan ini marak melahirkan dengan metode operasi cesar???.  Padahal, beberapa tahun lalu, ketika dunia medis di Papua belum berkembang seperti sekarang ini, mama - mama Papua dapat melahirkan anak relatif banyak (5 - 12 anak) dengan mengandalkan bantuan medis sederhana dan  pengetahuan kearifan lokal mereka.

Apakah tindakan cesar merupakan tindak lanjut dari program KB yang tidak berjalan efektif di Papua?. Apabila diamati  secara logika, Jumlah anak dalam program KB dan operasi Cesar sama jumlahnya, yaitu 3 anak. Semoga saja interpretasi perempuan Papua terhadap program operasi cesar terhadap perempuan Papua tidak tepat. Jika, orang Papua menolak mengikuti program KB dengan alasan logis" kitong pu tanah masih luas jadi anak harus banyak" Alasan ini sangat logis karena pulau Papua sangat luas. Orang Papua hidup dalam ikatan komunal sangat kuat. Anak menjadi milik keluarga besar (extended Family). Pemerintah seyogyanya mendukung pernyataan itu. Penulis mengapresiasi Gubernur Papua Lukas Enembe dan Bupati Kabupaten Lani Jaya yang memandang persoalan populasi penduduk asli Papua sebagai persoalan penting dan memberi perhatian khusus. Terutama memberikan jaminan sosial dan kesehatan kepada perempuan Papua yang dapat melahirkan banyak anak.

Sekiranya artikel ini dapat membuka mata dan hati  orang Papua, terutama para pembuat kebijakan pembangunan di Papua dan orang Papua asli yang berkecimpung dalam dunia medis, khususnya para dokter dan bidan agar dapat membantu perempuan Papua untuk melahirkan secara normal agar populasi orang asli Papua lebih dominan  bukan menjadi  minoritas di Tanahnya sendiri.

Minggu, 02 Juli 2017

Petani Papua dan Kelapa Sawit

Petani Papua dan Kelapa Sawit adalah dua budaya yang berbeda. Petani Papua memiliki tradisi bercocok tanam yang sangat berbeda dengan sistem pertanian modern. Fenomena ini nyata dalam keterlibatan petani Papua  dalam perkebunan kelapa sawit. Program pembangunan pertanian dengan intensifikasi tanaman kelapa sawit sebagai tanaman monokultur dengan orientasi pasar di Papua tidak tepat karena tidak sesuai dengan budaya pertanian masyarakat lokal.

Pada beberapa areal di mana Perkebunan Kelapa Sawit dibangun, seperti Arso, Prafi, Lereh, Klamono dan Mogoi  keterlibatan penduduk lokal sangat rendah. Kesejahteraan yang diimpikanpun tak kunjung datang. Hal ini terbukti dengan tidak terjadinya perubahan yang singnifikan dalam tingkat pendapatan dan kesejahteran Petani PIR Kepala sawit. Walaupun mereka telah kehilangan tanah ulayat, areal berburu, meramu dan tempat berladang. Dalam penelitian tesis S2  antropologi UGM  dengan topik" PETANI PAPUA DAN INOVASI PERTANIAN: Pengaruh Budaya Terhadap Pola Adopsi Teknologi PIR Kelapa Sawit pada Masyarakat Arfak di Manokwari (Nauw, 2007) mengungkapkan bahwa pengkajian dampak lingkungan dalam aspek sosial budaya kurang diperhatikan  pada saat  pembuatan dan pelaksanaan program pembangunan kelapa sawit di lingkungan masyarakat Papua umumnya dan secara khusus orang Arfak. Kekurang perhatian pada aspek sosial budaya tampak pada kasus keterlibatan petani Arfak dalam aktivitas sebagai petani PIR dan peningkatan kesejahteraan yang diharapkan.

Beberapa aspek budaya Arfak, seperti pola pertanian subsistem dengan sistem perladangan berpindah - pindah yang dikenal sejak nenek moyang tidak mudah ditinggalkan; pola tempat menetap bersama keluarga luas (extended family) diganti dengan bentuk pemukiman untuk keluarga inti, solidaritas antar kerabat sangat tinggi sehingga kecenderungan untuk meninggalkan areal transmigrasi lokal PIR kelapa sawit mengakibatkan terjadi sewa- menyewa lahan berbulan - bulan bahkan menjual lahan kepada orang luar; terdapat kepercayaan terhadap suangi (Black Magic) sebagai akibat budaya balas dendam dan menggunakan tenaga petani penyakap dengan sistem balas jasa.

Aspek - aspek budaya lokal umumnya kurang menjadi perhatian pemerintah pusat dan pemerintah Daerah dalam melaksanakan program pembangunan pertanian, khususnya kelapa sawit di Papua. Pemerintah hanya berpikir memperoleh income berupa pajak dari para investor dan memperkaya para investor yang adalah para kapitalis,  tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakat.  Padahal penduduk lokal telah kehilangan hak - haknya atas tanahnya. 

Pemerintah Daerah Kabupaten - kabupaten  di  Papua dan Papua Barat, seyogyanya lebih menunjukkan keberpihakkan kepada orang asli Papua. Bila perlu menolak berbagai program pembangunan yang semata - mata hanya mengeksploitasi sumber daya alam dan perampasan tanah ulayat masyarakat adat untuk kepentingan para kapitalis. Pemerintah seyogyanya melindungi masyarakat dan hak penguasaan Sumber daya alam serta berupaya,  menggandeng para stekholder khususnya para akademisi  untuk melakukan studi tentang pontensi daerah sehingga pemerintah daerah dapat mengembangkan potensi daerahnya sebagai pemasukan Pendapatan Asli Daerah ( PAD). Jangan mudah mengambil keputusan dan kebijakan pembangunan khususnya melepaskan berhektar - hektar tanah ulayat masyarakat Papua, yang pada akhirnya hanya "memarginalkan" dan "memiskinkan" orang Papua Sendiri.

Transmigrasi dan Pemekaran Daerah Papua: Kemasan berbeda tetapi isinya sama.

Pembangunan nasional bertujuan memberikan kesejahteraan kepada seluruh bangsa Indonesia mulai dari Sabang di bagian barat NKRI sampai ke Merauke yang terdapat di wilayah paling timur. Berbagai upaya dilakukan mulai dari melaksanakan pemerataan penduduk melalui program Transmigrasi hingga program kesehatan yang termanivestasi dalam program Keluarga Berencana.

Pemerataan pembangunan lewat program trasmigrasi dilakukan dengan cara memindahkan penduduk dari pulau - pulau yang berpenduduk padat, seperti perpindahan penduduk dari Pulau Jawa ke Pulau Kalimantan dan Papua. Transmigrasi juga dilakukan pada penduduk yang menempati daerah kritis seperti beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur.

Program transmigrasi merupakan salah satu program pembangunan yang telah berlangsung lama, bahkan pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia pun, program ini telah dilakukan, misalnya pemindahan penduduk dari Pulau Jawa ke Suriname dan Lampung. Program ini bagi pemerintah sangat penting dilakukan guna  pemerataan penduduk. Beberapa tahun belakangan ini program ini tidak dilaksanakan lagi, khususnya program transmigrasi ke Papua dan Papua Barat.

Tentunya penolakan terhadap program transmigrasi ke Papua didasari oleh beberapa alasan yang sangat logis, misalnya kompensasi ganti rugi atas tanah adat, perhatian pemerintah seolah - olah hanya ditujukan kepada para transmigrasi. Perhatian itu tampak dalam upaya pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan penyediaan lahan dan tempat tinggal untuk para transmigrasi. Masyarakat asli kehilangan areal berburu dan meramu serta tempat berladang. Kehadiran transmigran pun tidak luput dari berbagai persoalan sosial yang menciptakan kesenjangan antar masyarakat lokal dan transmigrasi. Kedatangan transmigrasi pun kemudian memotivasi migrasi spontan yang tertarik dengan keberhasilan kerabatnya yang mengikuti transmigrasi.

Pertambahan penduduk terus meningkat dari tahun ke tahun. Fenomena ini pun mendorong pemerintah daerah menolak pelaksanaan transmigrasi ke Papua. Walaupun demikian, program lain lagi di laksanakan pemerintah yakni memberikan ijin pembukaan daerah administratif baru dengan melakukan pemekaran kabupaten/ kota serta distrik - distrik. Sebenarnya tujuan pemerintah  mulia, agar daerah terisolasi dapat menikmati berbagai program pembangunan. Namun dibalik itu, sebenarnya program pemekaran ini tidaklah berbeda dengan program trasmigrasi, karena memiliki misi yang sama meningkatkan exodus para migran spontan dari luar Papua untuk memadati daerah - daerah pemekaran di Papua. Fenomena ini tampak nyata dengan kehadiran para migran spontan yang memadati daerah pemekaran baru. Meningkatkan paham etnosentrisme dan primordialisme di kalangan orang Papua. Sesama orang Papua saling membatasi akses untuk orang Papua lainnya, sedang para migran dari luar menikmati "kebebasan"  lebih bersemangat menarik kerabat dan kenalannya untuk memadati pemukiman - pemukiman baru.

 Jadi program pemekaran daerah dan trasnmigrasi sebenarnya memiliki misi sama tetapi "kemasannya" saja yang berbeda.  Fenomena ini bukan isapan jempol karena hingga kini perbandingan jumlah penduduk pendatang atau non Papua 56% dan Orang Asli Papua 44 %. Pemerintah daerah terutama para elit lokal Papua seharusnya lebih bijak memilah dan memilih serta memutuskan program pembangunan yang menguntungkan orang Papua bukan memarginalkan.

Jumat, 19 Mei 2017

Orang Meybrat Dalam Interkoneksi wilayah Kepala Burung Papua



ORANG MEYBRAT DALAM INTERKONEKSI MASYARAKAT KEPALA BURUNG



A.      NAMA DAN BAHASA

Nama “Meybrat” terdiri dari dua kata, yaitu Mey dan Brat. Kata Mey berarti bahasa, dan Brat secara harafiah mengartikan “bagian timur”. Namun dimaksudkan, adalah nama yang menunjukkan suatu kelompok orang di bagian sebelah timur yang berbicara bahasa Brat (Koentjaraningrat, 1993 : 156).

Panggilan nama kelompok orang tertentu di bagian sebelah timur ini, merupakan suatu sistem pengkategorisasian orang berdasarkan persamaan dan perbedaan bahasa dan diversitas lingkungan ekologi menurut sistem pengetahuan yang dimiliki oleh suatu kelompok sosial tertentu yang berdiam di sebelah barat, yaitu orang Tehit. Mereka menyebutnya Na Brat, yang berarti “orang Brat” atau orang Ayamaru yang dibedakan dari orang berbahasa Tehit. Kemudian orang Meybrat mengkategorikan diri mereka sebagai suatu kelompok orang yang sama dalam suatu dialek bahasa dan lingkungan tempat tinggal, yang dapat dibedakan dengan kelompok orang yang tinggal di bagian sebelah timur lagi, yaitu yang disebut Ra Brat yang berarti orang bagian timur lagi,  yang berarti orang bagian timur, atau yang lazim dikenal dengan nama “orang Aifat”.

Bahasa Meybrat serupa dengan bahasa lain di Papua, dan khususnya di daerah Kepala Burung pada Kabupaten Sorong adalah suatu bahasa yang diucapkan oleh suatu kelompok penduduk di daerah interkulasrin di tengah-tengah Kepala Burung Papua, yang dinamakan orang Meybrat. Meskipun penduduk Meybrat di daerah interkulasrin itu dibedakan dalam lima kategori sub kelompok orang menurut wilayah tempat tinggal, namun di dalamnya terdapat 10 jenis klasifikasi Mey (dialek bahasa) yang diucapkan dalam kelima sub kelompok tersebut, yang terdiri dari Mey Pfet dan Mey karon diucapkan orang Meybrat asal Karon; Mey Mare dan Mey Fayoch diucapkan oleh Meybrat asal Mare dan sekitarnya, mey ach, mey chabech, mey asmaun, dan mey maka diucapkan oleh orang Meybrat berasal Kecamatan Aifat, atau yang disebut “ra brat”, Mey the diucapkan oleh orang Meybrat di bagian selatan, atau disebut Ra the sedangkan Mey the brat diucapkan oleh orang Meybrat di sekitar interlakustrin, atau yang dikenal ra maroe (Wanane,1997: 72-73).  Berkaitan dengan pembedaan tersebut di atas, menurut  Sanggenafa  dalam  Koentjaranigrat (1993:156), Bahasa Meybrat, bahasaMadikdanbahasaKaronadalahbahasa- bahasa yang berbeda, namuntermasuksatugolongan, yaitu yang para ahli linguistic disebut Fila Papua Barat. Golongan ini berbeda dari golongan bahasaArfak, yang termasuk Fila KepalaBurungTimur.

Kata pfet, Mare, karon danBrat sesungguhnya adalah nama-nama tempat tinggal. Pengkategrisasian orang Meybrat ke dalam sub kelompok-sub kelompok penduduk adalah suatu model klasifikasi diantara sesama tetangga orang Meybrat menurut sistem kekerabatan berdasarkan dialek bahasa dan diversitas lingkungan tempat tinggal. Pengkategorisasian menurut kerabat dan bukan kerabat berdasarkan persamaan dan perbedaan dialek bahasa dan budaya dapat memperkuat solidaritas kekerabatan dan mempengaruhi keputusan keluarga bahwa seorang lelaki itu harus kawin dan memperoleh anak yang akanmeneruskan garis keturunan dan mempertahankan tanah warisan leluhur.



B.      SISTEM KEKERABATAN DAN PERKAWINAN

1.       Sistem Kekerabatan

Seperti  pada masyarakat kesukuan lainnyasetiap orang Meybrat dalam segala hal telah diikat dan diatur oleh lingkungan keluarga dimana orang itu dibesarkan. Ketika dilahirkan dan dibesarkan sebagai anak dari sepasang suami-istri, seorang individu itu sudah sejak usia dini dikondisikan dengan berbagai watum (tata adat) kekerabatan. Tata adat yang menentukan keanggotaan seseorang  dalam hubungan dengan individu atau suatu kelompoktertentu, dimanatelahmenempatkan seseorang dalam suatu jaringan kewajiban dan kerjasama.



2.       Konsepsi  Sistem Kekerabatan

Konsepsi  sistem kekerabatan orang Meybrat  merupakan serangkaian aturan-aturan yang mengatur penggolongan orang-orang yang sekerabat, yang melibatkan adanya berbagai hak dan kewajiban diantara orang-orang sekerabat, dandengan orang-orang yang tidak tergolong sebagai kerabat atau yang disebutra s’riam.

Hubungan kekerabatan dalam kehidupan orang Meybrat, terdiridaritiga macam hubungan  yaitu : (1) hubungan kekerabatan yang sesungguhnya antara seorang individu dengan orang lain yang terjadi karena hubungan persamaan keturunan atau “darah” dan kekerabatan yang terjadi karena hubungan perkawinan; (2) hubungan kekerabatan yang tidak dapat dihitung secara sungguh-sungguh lagi, tetapi karena kebiasaan adat, seperti karena totemisme, dan atau hubungan yang terjadi antara seorang ego dengan sejumlah orang lain karena nenek moyang dari kerabat-kerabat tadi dulu diangkat (diadopsi) oleh nenek moyang ego. Jadi hubungan kekerabatan yang sudah tidak dapat diterangkan dengan pasti lagi oleh anggota masyarakat baru (generasi muda) ketimbang kakek-neneknya dan atau hubungan perkawinan nenek moyang yang sudah tidak diingat lagi; (3) hubungan kekerabatan yang terjadi karena transaksi tukar-menukar kain timur.



3.       Kelompok Kekerabatan

Orang Meybrat mengorganisasikan sistem kekerabatan berdasarkan kepada azas kekerabatan yaitu : 1. Keluarga; 2. Fam atau keret (klen); (3) suku dan; (4) kelompok ekonomi transaksi kain timur.





3.1.   Keluarga

Keluarga dalam konteks ilmu Antropologi mengandung dua pengertian yaitu : Pertama, sistem kinship; dan kedua, kingroup atau kindred (family).

Kategori pertama, adalah yang disebut keluarga inti (nuclear family), dimaksud adalah satuan kekerabatan terkecil yang terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak-anakyang belum menikah.

Bentuk kelompok kekerabatan kecil yang berdasarkan orientasi keluarga conjugal tampaknya kurang dikenal dalam kehidupanbudayamasyarakat Meybrat karena, dianggap bentuk keluarga orientasi itu bersifat individualistis, dan hal ini bertentangan dengan pengetahuan kebudayaan orang Meybrat yang mengutamakan azas kekerabatan (kehidupan sosial) di dalam segala aspek kegiatan kebudayaan.

Orang Meybrat mengenal bentuk kekerabatan (kin group) merupakan kelompok kekerabatan yang terdiri atas suatu kesatuan kekerabatan yang disebut “famili” atau kinred. Artinya, seorang (ego) bergaul saling bantu membantu dan melakukan aktivitas bersama dengan saudara-saudara sepupunya dari pihak ayah maupun pihak ibu.

Kelompok kekerabatan yang lebih luas lagi, ialah “keluarga luas” yang para ahli Antropologi menyebutnya Extended family, dalam kehidupan orang Meybrat juga dipandang penting. Keluarga luas initerdiri atas lebih dari satu keluarga inti ego, yang seluruhnya merupakan suatu kesatuan sosial yang erat. Biasanya mereka tinggal dalam satu ruang, berdasarkan adat perkawinan virilokal. Kelompok kekerabatan ini diakui berdasarkan ikatan-ikatan geneologis.

Mereka hidup saling menjalin kontak satu sama lain dan saling bertetangga dalam suatu  struktur pemukiman tertentu dari kampung. Hal ini juga berpengaruh pada pola pemukiman ketika orang Meybrat berurbanisasi ke kota Sorong, merekaumumnyamembuatpolapemukimanberdasarkan kampong di manamerekaberasal.



3.2.   Fam atau Keret (Klen)

Kesatuan kekerabatan yang terdiri dari segabungan keluarga luas yang mengorganisasikan diri mereka berasal dari seseorang nenekmoyang, dan yang satu sama lainnya terikat hubungan melalui garis-garis keturunan laki-laki saja, atau bergaris keturunan patrilineal.

Kesatuan kerabat berdasarkan klen patrilineal ini dipandang penting dan bersifat kompetitif dalam kehidupan orang Meybrat. Hal ini terjadi akibat politik Bobot dantransaksitukar – menukarkain timur serta lingkungan ekologi tempat tinggal.



3.3.   Suku

Istilah lokal bahasa Meybrat untuk kata suku, tampaknya tidak ada, sehingga biasanya orang Meybrat menggunakan kata ra (orang) untuk menunjukkan satu kesatuan masyarakat yang menggunakan satu dialek bahasa yang sama, apabila dibedakan dengan kelompok masyarakat lain.

Kelompok-kelompok kekerabatan berdasarkan sub etnis ini mempunyai dialek bahasa tersendiri, yang membedakan sub kelompoknya dengan sub kelompok lain. Unsur-unsur pembeda dan pengikat solidaritas utama sub kelompok-sub kelompok etnis (suku) Meybrat ini adalah dialek bahasa yang dipakai dari teritorial geneologis/klen yang menjadi pusat konsentrasinya.



3.4     Kelompok Ekonomi Transaksi Kain Timur

Kelompok kekerabatan yang juga dikenal dalam budaya orang Meybrat adalah kelompok kekerabatan berdasarkan kawan dagang tukar-menukar kain timur atau orang Meybrat menyebutnya “tafoch”. Istilah tafoch dalam arti harafiahnya, adalah api, dan dalam arti luasnya, adalah “jaringan sosial”, kata api merupakan suatu ungkapan yang menggambarkan ‘makna api’ bagi kehidupan manusia dan sebaliknya hakekat dari hidup manusia diibaratkan sebagai makna api itu. Makna kehangatan atau api harus dicari di luar lingkungan manusia, yaitu melalui jaringan-jaringan hubungan sosial atau pergaulan antar manusia.

Kain timur adalah alat penghubung (media), dilakukan dengan cara transaksi tukar-menukar atau orang per orang, orang per kelompok, dan kelompok per kelompok dalam suatu jaringan kekerabatan yang sangat luas. Hubungankekerabatan berdasarkan temandagang tukar-menukar kain timur diawali dengan suatu perkawinan, di mana pihak laki-laki membayar hartamas kawin kepada pihak perempuan, dan pihak perempuan menerima harta mas kawin kain timur tersebut lalu kemudian sebagai debitor memberikankain-kain itu lagi kepada pihaklaki-laki sebagai kreditor. Pemberiandari pihak perempuan (debitor) disebur ru-ra, dan pihak laki-laki sebagai penerima (debitor) disebut bo-ru. Jaringan hubungan dagang ini mengakibatkan semua orang yang hidup terisolasi antar satu dengan yang lainnya saling berkomunikasi sebagai satu kesatuan (totalitas) yang utuh. Keutuhan yang dicari dan dikejar bersama melalui kelompok kekerabatan ini, adalah untuk mencapai kehidupan yang damai dan sejahtera. Melalui hubungan ini orang Meybrat berusaha membatasi kehidupan yang saling bermusuhan dan saling mencurigai antar manusia untuk menghindarkan terjadinya hal yang buruk bagi hubungan antar manusia.

Hubungan yang terjalin dalamkelompok kekerabatan orang Meybrat pada prinsipnya adalah : (1) bekerjasama menampung kebutuhan anggota kerabat akan hubungan yang erat, kasih sayang dan emosional yang memberikan rasa keamanan dan ketenangan batin; (2) bekerjasama mengurus kebutuhan rumah tangga; (3) sebagai kesatuansosial dalam mata pencahaian hidup (ekonomi) dan politik (prestise dan kekuasaan); (4) bekerjasama mengasuh dan mendidik anak-anak sebagai anggota masyarakat baru; (5) menjaga danmenguasai hak waris berupa harta milikkelompokbersangkutan dari intervensi orang lain (ra sriem); (6) bekerja sama menjaga dan menguasai hak ulayat atas tanah, air, dan hutan produksi; (7)bekerja sama dengan relasi dagang kain timur untuk menyelesaikan persoalan sosial yang menimpa kelompok; (8) menjaga danmembina identitas kelompok baik kekuasaan maupun gengsi di mata masyarakat umum; (9) sebagai kesatuan adat berkewajiban memelihara aturan-aturan (norma-norma) dn nilai-nilai budaya yang berlaku umum demi keseimbangan dan keseimbangan manusia dan kebudayaan Meybrat.



4.         Perkawinan

Uraian ini tidak bermaksud menjelaskan sistem adat dan upacara perkawinannya secara detail, tetapi lebih ditekankan pada konsepsi perkawinan dan model-model aturan yang ditekankan dalam sistem kekerabatan orang Meybrat  dan bagaimana seorang individu bertindakan sebagai warga kerabat.



4.1.Konsep Perkawinan

Konsepsi perkawinan orang Meybrat ditekankan terutama kepada keseimbangan dan kesinambungan manusia dan kebudayaan Meybrat.

Di dalam konteks ini, perkawinan bagi mereka adalah potensi yang memberi hidup, karena perkawinan bermakna esensial bagi kelahiran anggota-anggota masyarakat baru untuk kesinambungan dankeseimbangan manusia dan kebudayaan Meybrat. Selain itu juga, perkawinan merupakan institusi yang dianggap berfungsi sebagai titik temudan pengkontribusian kekuatan-kekuatan yang potensial. Dikatakan tanpa anggota-anggota masyarakat baru (anak-anak yang lahir) tidak akan ada keseimbangan dan kepastian sosial, politik dan ekonomi dalam hidup yang pada akhirnya tergeser ke pinggir dalam segala hal lalu menjadi punah.

Bagi orang Meybrat persoalan kawin atau menikah bukan persoalan dua person yang kawin, dan bukan pula persoalan orang tua saja, melainkan persoalan semua kerabat sebagai pemelihara keseimbangan dan penerus kesinambungan manusia dan kebudayaan Meybrat. Sehingga perkawinan tidak pernah hanya menyangkut dua orang, tetapi selalu melibatkan hubungan dua paruh kelompok masyarakat, yaitu paruh kelompok laki-laki sebagai pemberi harta mas kawin dan paruh kelompok perempuan sebagai penerima dan pemberi “rura”.

Perkawinan bagi orang Meybrat adalah hubungan yang permanen antara lelaki dan perempuan yang diakui secara sah oleh orang tua, kaum kerabat, dan masyarakat umum setempat bedasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku.



4.2.     Model-model aturan perkawinan

Model-model aturan perkawinan yang normatif dan dianggap ideal menurut kebudayaan Meybrat, secara operasional ditekankan melalui sistem kekerabatan sebagai berikut:

Perkawinan harus dilakukan melalui pembayaran harta mas kawin melalui sistem peminangan (bofo), pembayaran harta mas kawin (boyo) dan pemberian fotoru-ra bersama boru, yaitu ekonomi transkaksi tukar-menukar kain timur di antara kedua paroh kelompok kerabat (besan). Pembayaran harta mas kawin dengan memberikan kain-kain kepada pihak pemberi wanita dalam konteks fertilitas, dipandang sangat berpengaruh sekali dalam proses kehamilan atau pemberian anak dalam garis patrilineal.Sehinggaapabiladalamsebuahperkawinan, wanita tidak dapat melahirkan atau memberikan anak kepada suami dan kaum kerabatnya, maka wanita tersebut harus rela mengizinkan dan merestui suaminya untuk menikah dengan wanita lain, atau wanita dapat bernegosiasi dengan keluarganya untuk mengembalikan harta wanita atau mas kawin yang pernah diberikan pihak kerabat pria kepada kaum kerabat wanita tersebut.

Pembayaran harta mas kawin harus sesuai dengan jumlah kain-kain yang pernah ayahnya keluarkan untuk membayar harta mas kawin ibu kandungnya, dan atau yang pernah ayahnya keluarkan untuk membayar harta mas kawin saudara laki-lakinya. Harta mas kawin kain timur yang dibayar bukan saja diterima oleh orang tua dan pihak keluarga saudara lelaki kandung ibu saja, melainkan semua kerabat yang telah berjasa baik untuk orang tua maupun kepada anak wanita itu.

Sistem pembayaran harta mas kawin dilakukan dengan cara pihak lelaki saebagai penerima gadis memberikankain-kain timur kepada pihak perempuan sebagai pemberi gadis. Pemberianitu biasanya terjadipenawaran dari pihak pemberi gadis kepada pihak penerima gadis jika nilai dan besar pemberian jenis-jenis kain-kain itu tidak sesuai ketentuankaum kerabatnya, nilai dan besarnya jenis-jenis kain timur atau boyo itu harus sesuai dengan nilai dan besarnya jenis-jenis kain timur (boyo) yangdikeluarkan ketika pembayaran ayah mempelai wanita. Jika pemberian pihak lelaki telah menarik danmemuaskan pihakperempuan, maka pihak perempuan sebaliknya membalas denganmemberikan bobiyat (makanan-minuman tuo/segeru). Pemberian ini ada yang bersifat gratis, dan ada pula yang harus dibayar dengan kain timur atau uang oleh pihak kerabatpria.



             C.      Interkoneksi  Masyarakat Kepala Burung Dalam Proses Transaksi Tukar- Menukar Kain Timur

1. Interkoneksi masyarakat Kepala Burung Domberai dengan Orang luar serta masyarakat kepala Burung  Bomberai

Sejarah kontak kebudayaan yang terjadi di wilayahkepalaBurung Papua umumnyadanwilayah orang Meybratkhususnya bukan saja terjadi setelah orang-orang Eropa pertamamengunjungi daerah orang Meybrat di Ayamaru pada tahun 1908 danmasuknya pemerintah Belanda, tetapi kotak kebudayaan ini juga sudah berlangsung lama sebelum tahun 1908 tersebut. Beberapa publikasi mengenai daerah Kepala Burung baik berupa dokumen resmi pemerintah maupun berupa hasil penelitian mengemukakan adanya penduduk di daerah ini yang telah lama melakukan kontak dengan dunia luar sebelum pemerintahan Belanda.

Penduduk di daerahkepalaBurungumumnyadankhususnya orang Meybrat sudah lama menjalin hubungan dagang dengan pelaut-pelaut dan saudagar-saudagar pembeli budak, burung cenderawasih, sagu, damar, dan rotan kuning dari Kepulauan Maluku,terutama Banda dan Ternate melalui penduduk di pesisir pantai teluk Bintuni, Babo, dan para raja-raja di Fak-fak Onim. Dalam sejarah kebudayaan, Kepala Burung dan Bombarai (Fak-Fak) merupakan satu wilayah kebudayaan (Held,  Wurm, Sutaarga; Flassy, dalamWanane, 1997 : 87) yang pertautanadat istiadat, bahasa, persebaran penduduk, perlusan kekuasaan,pergaulan dan hubungan keterikatan perdagangan.

 Melalui kontak hubungan perdagangan itu, penduduk Meybrat di daerah Kepala Burung mempergunakan alat-alat dari logam atau besi (berupa kapak, parang, dan pisau), dan kompleksitas adat kain sakral (sacralegious cloth),yang secara populer dikenal dengan sebutan kain timur, atau bo dalam bahasa Meybrat dan nothoq (kain suci) dalam bahasa Tehit. Persebaran kain tersebut antara lain berfungsi sebagai alat bayar dalam segala hal yang bertalian erat baik yang menyangkut harta mas kawin maupun yang langsung berakibat terhadap status sosial seorang “laki-laki”.

Kontak kebudayaan itu terjadi pada abad ke XV-XVI. Menurut J.C.  van Leur  dan MeilinkRoelofsz, yang bercerita tentang perdagangan dan masyarakat Indonesia dalam sejarah ekonomi di Asia; M.A.P. Meilink Roelofsz yang menulis tentang jalur perdagangan di antara orang Asia sendiri dan pengaruh orang Eropa di Indonesia. Keduanya menceritakan, bahwa pada masa perdagangan itu “kain-kain tenun” sebagai medium utama dari asia bagian barat (India, China, Bengali, dan Burma) serta rempah-rempah dan kayu cendana, dan burung Cenderawasih sebagai medium utama dari Asia bagian timur dimana di dalam pertemuan sebagai obyek dagang. Lebih jelas pula dari tulisan Toos van Dijk dan Nico de Jong  bahwa pada masa abad ke XVI Indonesia terkenal daerah kaya akan produksi rempah-rempah dan kayu cendana, sehingga terjadilah inter-Asian commecial relation till 1621, dan pelabuhan Malaka sebagai pusat perdagangan atau transaksi antara keduabelah pihak. Dari 17 jenis barang komiditi itu dalam jalur perdagangan itu, antara lain disebutkan “kain-kain ke Irian (melalui Fak-Fak) sago ke Banda”. Selain sago, termasuk juga budak dan burung cenderawasih dari Irian ke Banda ( Wanane, 1995: 88)

 Demikian, di dalam kontak kepentingan-kepentingan perdagangan itu, orang Meybrat berkomunikasi dengan orang-orang di pantai, terutama di muara-muara sungai seperti sungai Kais, sungai Kaipus, sungai Warongge, Kali Sekak, dan sungai Kumandan yang disebutkan di atas sebagai arena kontak kebudayaan antar penduduk Maybrat dan Tehit dengan para saudagar-saudagar dari Banda melalui raja-raja di Bomberai-Onim Fak-fak. Melalui kontak itu, penduduk Maybrat mulai menggunakan kain-kain tenun itu sebagai “benda paling berharga” yang langsung berakibat terhadap status kepemimpinan “bobot” disebukan di atas.

Proses akulturasi yang terjadi dan dirasakan pentingnya “kain-kain berharga” itu di lingkungan sosial orang Maybrat, selanjutnya mendorong mobilitas penduduk Maybrat ke berbagai kota di pesisir Kepala Burung, terutama Sorong, Bintuni (Steinkool dan Babo) untuk bekerja di Maskapai pemboran minyak bumi dan lapangan terbang di Babo. Mereka bekerja mendapatkan uang, dan uang itu dibelikan barang-barang logam (parang, tombak, pisau), alat-alat masak, dan kain-kain tekstil dalam berbagai jenis untuk pembayaran harta mas kawin dan transaksi tukar-menukar kain timur.

 Puncaknya terjadi pada tahun 1970-1975, ketika dibukanya lapangan kerja baru berupa Maskapai Petromer Trent dengan kegiatan survey dan pemboran minyak bumi di Sele-Sorong,selanjutnya mendorong mobilitas penduduk Maybrat meninggalkan desa-desa mereka ke Kota Sorong, dan selanjutnya membuka kontak budaya mereka dengan kebudayaan luar.

Hasil yang diperoleh dari  proses akulturasi ini, ialah menyebabkan terjadi berbagai modifikasi wujud dan gagasan budaya yang dikembangkan, tanpa menghilangkan orientasi nilai-nilai budaya mereka yang lama. Patokan yang menjadi model dari modifikasi nilai dan wujud budaya luar (asing) itu, didasarkan pada orientasi pengetahuan kebudayaan asal. Aspek konkrit yang dapat diamati dalam kehidupan orang Maybrat, ialah dari aspek kebudayaan materi berupa barang logam, kain timur yang disebut bo sebagai alat bayar yang syah, maupun model-model perhitungan nilai-nilai kain tersebut dalam soal pembayaran harta mas kawin dengan transaksi mata uang rupiah.





1.      Interkoneksi Masyarakat kepala Burung dalam lingkup wilayah Budaya Doberai sebagai implikasi dari budaya transaksi kain timor dan perdagangan budak.



Kelompok suku di wilayah kepala Burung yang termasuk dalam wilayah Budaya Doberai dengan orientasi budaya pada transaksi tukar – menukar kain timur adalah Suku Arfak ( Hatam, Meyahk, Moile, dan Sougb), Suku Madik, Suku Karon/Meyah, Suku  Meybrat, danSukuTehit.

Kelompok etnis tersebut di atas, melakukan perdagangan tradisional kain timur antar klen, gabungan klen, atau etnis. Berdagang tidak hanya tukar – menukar barang – barang yang sangat diperlukan dengan benda – benda yang mempunyai ukuran nilai tertentu, seperti perhiasan dan manik – manik, tetapi juga didorong oleh keinginan untuk memperbesar rasa solidaritas antar orang – orang yang saling bertukar – tukaran, atau keinginan kedua belah pihak untuk menaik kan gengsi dengan memberikan benda – benda yang lebih berharga daripada yang diterimanya, (Sanggenafa danKoentjaraningrat, 1993:156).
Fenomena pertukaran benda - benda berharga, seperti kain timur dan manik - manik serta benda - benda logam lainnya telah terjadi jauh sebelum terjadinya persbaran agama kristen. Pertukaran kain timur antar inividu dan kelompok terjadi berdasarkan suatu kesepakatan tertentu, seperti kesepakatan waktu pengembalian dan besarnya bunga yang harus ditanggung oleh debitur.Secara tradisional suku - suku di wilayah Kepala Burung Papua mengenal sistem investa jangka pendek. Mereka juga memberlakukan sangsi sangat tegas bagi debitur sehingga orang yang hendak melakukan aktivitas ini haruslah siap secara materi dan juga psikis. Seorang debitur harus mengingat waktu pengembaliannya, karena jika tidak mengembalikan tepat waktu sangsinya adalah menerima secara suka rela perlakukan kreditur kepadanya.

Seperti pada sistem perbankan modern dewasa ini perjanjian dengan debitur diatur sesuai aturan - aturan perbankan itu sendiri. Jika tidak dilunasi akan ditindak tegas sesuai aturan yang berlaku. Demikian pula halnya pada masyarakat tradisional di Kepala burung. Debitur yang tidak dapat menyelesaikan utang kain timur dikenakan sangsi tegas. Salah satu sangsi yang diberikan adalah mengambil salah seorang anak debitur sebagai budak atau orang Meybrat menyebutnya awe. Budak ini ada yang tetap bekerja kepada kreditur sebagai majikannya, tetapi adapula yang kemudian diberikan kreditur kepada relasi bisnis kain timurnya yang lain. 
Fenomena perdagangan kain timur dan budak ini mengakibatkan sehingga pada saat ini dapat ditemukan perempuan dan laki - laki Meybrat yang dahulu dijadikan budak ke wilayah Arfak telah menggunakan marga orang Arfak dan melakukan perkawinan dan melahirkan beberapa keturunan baru yang mendiami daerah arfak. Adapula budak yang dijual kepada kepala suku di wilayah doreri, salah satu diantara mereka adalah seorang gadis yang dibaptis dua Pendeta Zending pertama  ottow dan Geissler dengan nama Diana sebagai orang Papua pertama yang menerima kristus atau sebagai kristen.
Setelah masuknya agama Kristen di wilayah Meybrat, para pendeta dan pastor melarang masyarakat untuk melakukan aktivitas ini. Para Pendeta dan Pastor mengambil  anak -anak kemudian   dimasukan ke asrama - asrama. Anak - anak dipisahkan dari orang tua agar tidak menjadi korban perdagangan kain timur dan budak. Anak - anak diperkenalkan dengan sistem pendidikan formal berbasis asrama. Banyak di antara mereka berhasil menjadi guru,polisi, tentara dan mantri/perawat. Adapula yang berhasil dan menduduki jabatan penting dalam birokrasi pemerintahan dan legislatif.
 

Natal Momen Paling Bahagia Bagi Orang Papua . By.. Monica Nauw

 Natal atau kehiran Yesus adalah momen bahagia bagi semua umat Kristen di dunia dan khusus umat Kristen di Papua.  Pulau Papua yang merupaka...