ORANG
MEYBRAT DALAM INTERKONEKSI MASYARAKAT KEPALA BURUNG
A. NAMA DAN BAHASA
Nama “Meybrat” terdiri dari dua
kata, yaitu Mey dan Brat. Kata Mey berarti bahasa, dan Brat
secara harafiah mengartikan “bagian timur”. Namun dimaksudkan, adalah nama yang
menunjukkan suatu kelompok orang di bagian sebelah timur yang berbicara bahasa
Brat (Koentjaraningrat, 1993 : 156).
Panggilan nama kelompok orang
tertentu di bagian sebelah timur ini, merupakan suatu sistem pengkategorisasian
orang berdasarkan persamaan dan perbedaan bahasa dan diversitas lingkungan
ekologi menurut sistem pengetahuan yang dimiliki oleh suatu kelompok sosial
tertentu yang berdiam di sebelah barat, yaitu orang Tehit. Mereka menyebutnya Na Brat, yang berarti “orang Brat” atau
orang Ayamaru yang dibedakan dari orang berbahasa Tehit. Kemudian orang Meybrat
mengkategorikan diri mereka sebagai suatu kelompok orang yang sama dalam suatu
dialek bahasa dan lingkungan tempat tinggal, yang dapat dibedakan dengan
kelompok orang yang tinggal di bagian sebelah timur lagi, yaitu yang disebut Ra Brat yang berarti orang bagian timur
lagi, yang berarti orang bagian timur,
atau yang lazim dikenal dengan nama “orang Aifat”.
Bahasa Meybrat serupa dengan bahasa
lain di Papua, dan khususnya di daerah Kepala Burung pada Kabupaten Sorong
adalah suatu bahasa yang diucapkan oleh suatu kelompok penduduk di daerah
interkulasrin di tengah-tengah Kepala Burung Papua, yang dinamakan orang Meybrat.
Meskipun penduduk Meybrat di daerah interkulasrin itu dibedakan dalam lima
kategori sub kelompok orang menurut wilayah tempat tinggal, namun di dalamnya
terdapat 10 jenis klasifikasi Mey
(dialek bahasa) yang diucapkan dalam kelima sub kelompok tersebut, yang terdiri
dari Mey Pfet dan Mey karon diucapkan orang Meybrat asal
Karon; Mey Mare dan Mey Fayoch diucapkan oleh Meybrat asal
Mare dan sekitarnya, mey ach, mey
chabech, mey asmaun, dan mey maka
diucapkan oleh orang Meybrat berasal Kecamatan Aifat, atau yang disebut “ra brat”, Mey the diucapkan oleh orang
Meybrat di bagian selatan, atau disebut Ra
the sedangkan Mey the brat
diucapkan oleh orang Meybrat di sekitar interlakustrin, atau yang dikenal ra maroe (Wanane,1997: 72-73). Berkaitan dengan pembedaan tersebut di atas, menurut
Sanggenafa dalam Koentjaranigrat
(1993:156), Bahasa Meybrat, bahasaMadikdanbahasaKaronadalahbahasa- bahasa yang
berbeda, namuntermasuksatugolongan, yaitu yang para ahli linguistic disebut Fila
Papua Barat. Golongan ini berbeda dari golongan bahasaArfak, yang termasuk Fila
KepalaBurungTimur.
Kata pfet, Mare, karon danBrat sesungguhnya adalah nama-nama tempat tinggal. Pengkategrisasian
orang Meybrat ke dalam sub kelompok-sub kelompok penduduk adalah suatu model
klasifikasi diantara sesama tetangga orang Meybrat menurut sistem kekerabatan
berdasarkan dialek bahasa dan diversitas lingkungan tempat tinggal.
Pengkategorisasian menurut kerabat dan bukan kerabat berdasarkan persamaan dan
perbedaan dialek bahasa dan budaya dapat memperkuat solidaritas kekerabatan dan
mempengaruhi keputusan keluarga bahwa seorang lelaki itu harus kawin dan memperoleh
anak yang akanmeneruskan garis keturunan dan mempertahankan tanah warisan
leluhur.
B. SISTEM KEKERABATAN DAN PERKAWINAN
1. Sistem Kekerabatan
Seperti pada masyarakat kesukuan lainnyasetiap orang
Meybrat dalam segala hal telah diikat dan diatur oleh lingkungan keluarga
dimana orang itu dibesarkan. Ketika dilahirkan dan dibesarkan sebagai anak dari
sepasang suami-istri, seorang individu itu sudah sejak usia dini dikondisikan
dengan berbagai watum (tata adat)
kekerabatan. Tata adat yang menentukan keanggotaan seseorang dalam hubungan dengan individu atau suatu
kelompoktertentu, dimanatelahmenempatkan seseorang dalam suatu jaringan
kewajiban dan kerjasama.
2. Konsepsi Sistem Kekerabatan
Konsepsi sistem kekerabatan orang Meybrat merupakan serangkaian aturan-aturan yang
mengatur penggolongan orang-orang yang sekerabat, yang melibatkan adanya
berbagai hak dan kewajiban diantara orang-orang sekerabat, dandengan
orang-orang yang tidak tergolong sebagai kerabat atau yang disebutra s’riam.
Hubungan kekerabatan dalam
kehidupan orang Meybrat, terdiridaritiga macam hubungan yaitu : (1) hubungan kekerabatan yang sesungguhnya
antara seorang individu dengan orang lain yang terjadi karena hubungan
persamaan keturunan atau “darah” dan kekerabatan yang terjadi karena hubungan
perkawinan; (2) hubungan kekerabatan yang tidak dapat dihitung secara
sungguh-sungguh lagi, tetapi karena kebiasaan adat, seperti karena totemisme, dan atau hubungan yang
terjadi antara seorang ego dengan sejumlah orang lain karena nenek moyang dari
kerabat-kerabat tadi dulu diangkat (diadopsi) oleh nenek moyang ego. Jadi
hubungan kekerabatan yang sudah tidak dapat diterangkan dengan pasti lagi oleh
anggota masyarakat baru (generasi muda) ketimbang kakek-neneknya dan atau
hubungan perkawinan nenek moyang yang sudah tidak diingat lagi; (3) hubungan
kekerabatan yang terjadi karena transaksi tukar-menukar kain timur.
3. Kelompok Kekerabatan
Orang Meybrat mengorganisasikan
sistem kekerabatan berdasarkan kepada azas kekerabatan yaitu : 1. Keluarga; 2.
Fam atau keret (klen); (3) suku dan; (4) kelompok ekonomi transaksi kain timur.
3.1. Keluarga
Keluarga dalam konteks ilmu
Antropologi mengandung dua pengertian yaitu : Pertama, sistem kinship; dan
kedua, kingroup atau kindred (family).
Kategori pertama, adalah yang
disebut keluarga inti (nuclear family),
dimaksud adalah satuan kekerabatan terkecil yang terdiri dari seorang suami,
seorang istri dan anak-anakyang belum menikah.
Bentuk kelompok kekerabatan kecil
yang berdasarkan orientasi keluarga
conjugal tampaknya kurang dikenal dalam kehidupanbudayamasyarakat Meybrat
karena, dianggap bentuk keluarga orientasi itu bersifat individualistis, dan
hal ini bertentangan dengan pengetahuan kebudayaan orang Meybrat yang
mengutamakan azas kekerabatan (kehidupan sosial) di dalam segala aspek kegiatan
kebudayaan.
Orang Meybrat mengenal bentuk
kekerabatan (kin group) merupakan
kelompok kekerabatan yang terdiri atas suatu kesatuan kekerabatan yang disebut
“famili” atau kinred. Artinya, seorang (ego) bergaul saling bantu membantu dan
melakukan aktivitas bersama dengan saudara-saudara sepupunya dari pihak ayah
maupun pihak ibu.
Kelompok kekerabatan yang lebih
luas lagi, ialah “keluarga luas” yang para ahli Antropologi menyebutnya Extended family, dalam kehidupan orang
Meybrat juga dipandang penting. Keluarga luas initerdiri atas lebih dari satu
keluarga inti ego, yang seluruhnya merupakan suatu kesatuan sosial yang erat.
Biasanya mereka tinggal dalam satu ruang, berdasarkan adat perkawinan virilokal.
Kelompok kekerabatan ini diakui berdasarkan ikatan-ikatan geneologis.
Mereka hidup saling menjalin kontak
satu sama lain dan saling bertetangga dalam suatu struktur pemukiman tertentu dari kampung. Hal
ini juga berpengaruh pada pola pemukiman ketika orang Meybrat berurbanisasi ke
kota Sorong, merekaumumnyamembuatpolapemukimanberdasarkan kampong di
manamerekaberasal.
3.2. Fam atau Keret (Klen)
Kesatuan kekerabatan yang terdiri
dari segabungan keluarga luas yang mengorganisasikan diri mereka berasal dari
seseorang nenekmoyang, dan yang satu sama lainnya terikat hubungan melalui
garis-garis keturunan laki-laki saja, atau bergaris keturunan patrilineal.
Kesatuan kerabat berdasarkan klen
patrilineal ini dipandang penting dan bersifat kompetitif dalam kehidupan orang
Meybrat. Hal ini terjadi akibat politik Bobot
dantransaksitukar – menukarkain timur serta lingkungan ekologi tempat tinggal.
3.3. Suku
Istilah lokal bahasa Meybrat untuk
kata suku, tampaknya tidak ada, sehingga biasanya orang Meybrat menggunakan
kata ra (orang) untuk menunjukkan
satu kesatuan masyarakat yang menggunakan satu dialek bahasa yang sama, apabila
dibedakan dengan kelompok masyarakat lain.
Kelompok-kelompok kekerabatan
berdasarkan sub etnis ini mempunyai dialek bahasa tersendiri, yang membedakan
sub kelompoknya dengan sub kelompok lain. Unsur-unsur pembeda dan pengikat
solidaritas utama sub kelompok-sub kelompok etnis (suku) Meybrat ini adalah
dialek bahasa yang dipakai dari teritorial geneologis/klen yang menjadi pusat
konsentrasinya.
3.4 Kelompok Ekonomi Transaksi Kain Timur
Kelompok kekerabatan yang juga
dikenal dalam budaya orang Meybrat adalah kelompok kekerabatan berdasarkan
kawan dagang tukar-menukar kain timur atau orang Meybrat menyebutnya “tafoch”. Istilah tafoch dalam arti harafiahnya, adalah api, dan dalam arti luasnya,
adalah “jaringan sosial”, kata api
merupakan suatu ungkapan yang menggambarkan ‘makna api’ bagi kehidupan manusia
dan sebaliknya hakekat dari hidup manusia diibaratkan sebagai makna api itu.
Makna kehangatan atau api harus dicari di luar lingkungan manusia, yaitu
melalui jaringan-jaringan hubungan sosial atau pergaulan antar manusia.
Kain timur adalah alat penghubung
(media), dilakukan dengan cara transaksi tukar-menukar atau orang per orang,
orang per kelompok, dan kelompok per kelompok dalam suatu jaringan kekerabatan
yang sangat luas. Hubungankekerabatan berdasarkan temandagang tukar-menukar
kain timur diawali dengan suatu perkawinan, di mana pihak laki-laki membayar
hartamas kawin kepada pihak perempuan, dan pihak perempuan menerima harta mas
kawin kain timur tersebut lalu kemudian sebagai debitor memberikankain-kain itu
lagi kepada pihaklaki-laki sebagai kreditor. Pemberiandari pihak perempuan (debitor)
disebur ru-ra, dan pihak laki-laki
sebagai penerima (debitor) disebut bo-ru.
Jaringan hubungan dagang ini mengakibatkan semua orang yang hidup terisolasi antar
satu dengan yang lainnya saling berkomunikasi sebagai satu kesatuan (totalitas)
yang utuh. Keutuhan yang dicari dan dikejar bersama melalui kelompok
kekerabatan ini, adalah untuk mencapai kehidupan yang damai dan sejahtera.
Melalui hubungan ini orang Meybrat berusaha membatasi kehidupan yang saling
bermusuhan dan saling mencurigai antar manusia untuk menghindarkan terjadinya
hal yang buruk bagi hubungan antar manusia.
Hubungan yang terjalin
dalamkelompok kekerabatan orang Meybrat pada prinsipnya adalah : (1) bekerjasama
menampung kebutuhan anggota kerabat akan hubungan yang erat, kasih sayang dan
emosional yang memberikan rasa keamanan dan ketenangan batin; (2) bekerjasama
mengurus kebutuhan rumah tangga; (3) sebagai kesatuansosial dalam mata
pencahaian hidup (ekonomi) dan politik (prestise dan kekuasaan); (4) bekerjasama
mengasuh dan mendidik anak-anak sebagai anggota masyarakat baru; (5) menjaga
danmenguasai hak waris berupa harta milikkelompokbersangkutan dari intervensi
orang lain (ra sriem); (6) bekerja sama menjaga dan menguasai hak ulayat atas
tanah, air, dan hutan produksi; (7)bekerja sama dengan relasi dagang kain timur
untuk menyelesaikan persoalan sosial yang menimpa kelompok; (8) menjaga
danmembina identitas kelompok baik kekuasaan maupun gengsi di mata masyarakat
umum; (9) sebagai kesatuan adat berkewajiban memelihara aturan-aturan
(norma-norma) dn nilai-nilai budaya yang berlaku umum demi keseimbangan dan
keseimbangan manusia dan kebudayaan Meybrat.
4.
Perkawinan
Uraian ini tidak bermaksud
menjelaskan sistem adat dan upacara perkawinannya secara detail, tetapi lebih
ditekankan pada konsepsi perkawinan dan model-model aturan yang ditekankan
dalam sistem kekerabatan orang Meybrat dan bagaimana seorang individu bertindakan
sebagai warga kerabat.
4.1.Konsep Perkawinan
Konsepsi perkawinan orang Meybrat
ditekankan terutama kepada keseimbangan dan kesinambungan manusia dan
kebudayaan Meybrat.
Di dalam konteks ini, perkawinan
bagi mereka adalah potensi yang memberi hidup, karena perkawinan bermakna
esensial bagi kelahiran anggota-anggota masyarakat baru untuk kesinambungan
dankeseimbangan manusia dan kebudayaan Meybrat. Selain itu juga, perkawinan
merupakan institusi yang dianggap berfungsi sebagai titik temudan
pengkontribusian kekuatan-kekuatan yang potensial. Dikatakan tanpa
anggota-anggota masyarakat baru (anak-anak yang lahir) tidak akan ada
keseimbangan dan kepastian sosial, politik dan ekonomi dalam hidup yang pada
akhirnya tergeser ke pinggir dalam segala hal lalu menjadi punah.
Bagi orang
Meybrat persoalan kawin atau menikah bukan persoalan dua person yang kawin, dan
bukan pula persoalan orang tua saja, melainkan persoalan semua kerabat sebagai pemelihara
keseimbangan dan penerus kesinambungan manusia dan kebudayaan Meybrat. Sehingga
perkawinan tidak pernah hanya menyangkut dua orang, tetapi selalu melibatkan
hubungan dua paruh kelompok masyarakat, yaitu paruh kelompok laki-laki sebagai
pemberi harta mas kawin dan paruh kelompok perempuan sebagai penerima dan pemberi
“rura”.
Perkawinan bagi orang Meybrat
adalah hubungan yang permanen antara lelaki dan perempuan yang diakui secara
sah oleh orang tua, kaum kerabat, dan masyarakat umum setempat bedasarkan atas
peraturan perkawinan yang berlaku.
4.2. Model-model
aturan perkawinan
Model-model aturan perkawinan yang
normatif dan dianggap ideal menurut kebudayaan Meybrat, secara operasional
ditekankan melalui sistem kekerabatan sebagai berikut:
Perkawinan harus dilakukan melalui
pembayaran harta mas kawin melalui sistem peminangan (bofo), pembayaran harta mas kawin (boyo) dan pemberian fotoru-ra
bersama boru, yaitu ekonomi
transkaksi tukar-menukar kain timur di antara kedua paroh kelompok kerabat
(besan). Pembayaran harta mas kawin dengan memberikan kain-kain kepada pihak
pemberi wanita dalam konteks fertilitas, dipandang sangat berpengaruh sekali
dalam proses kehamilan atau pemberian anak dalam garis patrilineal.Sehinggaapabiladalamsebuahperkawinan,
wanita tidak dapat melahirkan atau memberikan anak kepada suami dan kaum kerabatnya,
maka wanita tersebut harus rela mengizinkan dan merestui suaminya untuk menikah
dengan wanita lain, atau wanita dapat bernegosiasi dengan keluarganya untuk mengembalikan
harta wanita atau mas kawin yang pernah diberikan pihak kerabat pria kepada kaum
kerabat wanita tersebut.
Pembayaran harta mas kawin harus
sesuai dengan jumlah kain-kain yang pernah ayahnya keluarkan untuk membayar
harta mas kawin ibu kandungnya, dan atau yang pernah ayahnya keluarkan untuk
membayar harta mas kawin saudara laki-lakinya. Harta mas kawin kain timur yang
dibayar bukan saja diterima oleh orang tua dan pihak keluarga saudara lelaki
kandung ibu saja, melainkan semua kerabat yang telah berjasa baik untuk orang
tua maupun kepada anak wanita itu.
Sistem pembayaran harta mas kawin
dilakukan dengan cara pihak lelaki saebagai penerima gadis memberikankain-kain
timur kepada pihak perempuan sebagai pemberi gadis. Pemberianitu biasanya
terjadipenawaran dari pihak pemberi gadis kepada pihak penerima gadis jika
nilai dan besar pemberian jenis-jenis kain-kain itu tidak sesuai ketentuankaum
kerabatnya, nilai dan besarnya jenis-jenis kain timur atau boyo itu harus sesuai dengan nilai dan besarnya jenis-jenis kain
timur (boyo) yangdikeluarkan ketika
pembayaran ayah mempelai wanita. Jika pemberian pihak lelaki telah menarik
danmemuaskan pihakperempuan, maka pihak perempuan sebaliknya membalas
denganmemberikan bobiyat
(makanan-minuman tuo/segeru).
Pemberian ini ada yang bersifat gratis, dan ada pula yang harus dibayar dengan
kain timur atau uang oleh pihak kerabatpria.
C. Interkoneksi Masyarakat Kepala Burung Dalam Proses
Transaksi Tukar- Menukar Kain Timur
1.
Interkoneksi masyarakat Kepala Burung Domberai dengan Orang
luar serta masyarakat kepala Burung Bomberai
Sejarah kontak kebudayaan yang
terjadi di wilayahkepalaBurung Papua umumnyadanwilayah orang Meybratkhususnya
bukan saja terjadi setelah orang-orang Eropa pertamamengunjungi daerah orang
Meybrat di Ayamaru pada tahun 1908 danmasuknya pemerintah Belanda, tetapi kotak
kebudayaan ini juga sudah berlangsung lama sebelum tahun 1908 tersebut. Beberapa
publikasi mengenai daerah Kepala Burung baik berupa dokumen resmi pemerintah
maupun berupa hasil penelitian mengemukakan adanya penduduk di daerah ini yang telah
lama melakukan kontak dengan dunia luar sebelum pemerintahan Belanda.
Penduduk di daerahkepalaBurungumumnyadankhususnya
orang Meybrat sudah lama menjalin hubungan dagang dengan pelaut-pelaut dan
saudagar-saudagar pembeli budak, burung cenderawasih, sagu, damar, dan rotan
kuning dari Kepulauan Maluku,terutama Banda dan Ternate melalui penduduk di
pesisir pantai teluk Bintuni, Babo, dan para raja-raja di Fak-fak Onim. Dalam
sejarah kebudayaan, Kepala Burung dan Bombarai (Fak-Fak) merupakan satu wilayah
kebudayaan (Held, Wurm, Sutaarga;
Flassy, dalamWanane, 1997 : 87) yang pertautanadat istiadat, bahasa, persebaran
penduduk, perlusan kekuasaan,pergaulan dan hubungan keterikatan perdagangan.
Melalui kontak hubungan perdagangan itu,
penduduk Meybrat di daerah Kepala Burung mempergunakan alat-alat dari logam
atau besi (berupa kapak, parang, dan pisau), dan kompleksitas adat kain sakral
(sacralegious cloth),yang secara
populer dikenal dengan sebutan kain timur,
atau bo dalam bahasa Meybrat dan nothoq (kain suci) dalam bahasa Tehit.
Persebaran kain tersebut antara lain berfungsi sebagai alat bayar dalam segala
hal yang bertalian erat baik yang menyangkut harta mas kawin maupun yang
langsung berakibat terhadap status sosial seorang “laki-laki”.
Kontak kebudayaan itu terjadi pada
abad ke XV-XVI. Menurut J.C. van
Leur dan MeilinkRoelofsz, yang bercerita
tentang perdagangan dan masyarakat Indonesia dalam sejarah ekonomi di Asia;
M.A.P. Meilink Roelofsz yang menulis tentang jalur perdagangan di antara orang
Asia sendiri dan pengaruh orang Eropa di Indonesia. Keduanya menceritakan,
bahwa pada masa perdagangan itu “kain-kain tenun” sebagai medium utama dari
asia bagian barat (India, China, Bengali, dan Burma) serta rempah-rempah dan
kayu cendana, dan burung Cenderawasih sebagai medium utama dari Asia bagian
timur dimana di dalam pertemuan sebagai obyek dagang. Lebih jelas pula dari
tulisan Toos van Dijk dan Nico de Jong bahwa pada masa abad ke XVI Indonesia terkenal
daerah kaya akan produksi rempah-rempah dan kayu cendana, sehingga terjadilah inter-Asian commecial relation till 1621, dan
pelabuhan Malaka sebagai pusat perdagangan atau transaksi antara keduabelah
pihak. Dari 17 jenis barang komiditi itu dalam jalur perdagangan itu, antara
lain disebutkan “kain-kain ke Irian (melalui Fak-Fak) sago ke Banda”. Selain
sago, termasuk juga budak dan burung cenderawasih dari Irian ke Banda ( Wanane,
1995: 88)
Demikian, di dalam kontak
kepentingan-kepentingan perdagangan itu, orang Meybrat berkomunikasi dengan
orang-orang di pantai, terutama di muara-muara sungai seperti sungai Kais,
sungai Kaipus, sungai Warongge, Kali Sekak, dan sungai Kumandan yang disebutkan
di atas sebagai arena kontak kebudayaan antar penduduk Maybrat dan Tehit dengan
para saudagar-saudagar dari Banda melalui raja-raja di Bomberai-Onim Fak-fak.
Melalui kontak itu, penduduk Maybrat mulai menggunakan kain-kain tenun itu
sebagai “benda paling berharga” yang langsung berakibat terhadap status
kepemimpinan “bobot” disebukan di atas.
Proses akulturasi yang terjadi dan
dirasakan pentingnya “kain-kain berharga” itu di lingkungan sosial orang
Maybrat, selanjutnya mendorong mobilitas penduduk Maybrat ke berbagai kota di
pesisir Kepala Burung, terutama Sorong, Bintuni (Steinkool dan Babo) untuk
bekerja di Maskapai pemboran minyak bumi dan lapangan terbang di Babo. Mereka
bekerja mendapatkan uang, dan uang itu dibelikan barang-barang logam (parang,
tombak, pisau), alat-alat masak, dan kain-kain tekstil dalam berbagai jenis
untuk pembayaran harta mas kawin dan transaksi tukar-menukar kain timur.
Puncaknya terjadi pada tahun 1970-1975, ketika
dibukanya lapangan kerja baru berupa Maskapai Petromer Trent dengan kegiatan
survey dan pemboran minyak bumi di Sele-Sorong,selanjutnya mendorong mobilitas
penduduk Maybrat meninggalkan desa-desa mereka ke Kota Sorong, dan selanjutnya
membuka kontak budaya mereka dengan kebudayaan luar.
Hasil yang diperoleh dari proses akulturasi ini, ialah menyebabkan
terjadi berbagai modifikasi wujud dan gagasan budaya yang dikembangkan, tanpa
menghilangkan orientasi nilai-nilai budaya mereka yang lama. Patokan yang
menjadi model dari modifikasi nilai dan wujud budaya luar (asing) itu,
didasarkan pada orientasi pengetahuan kebudayaan asal. Aspek konkrit yang dapat
diamati dalam kehidupan orang Maybrat, ialah dari aspek kebudayaan materi
berupa barang logam, kain timur yang
disebut bo sebagai alat bayar yang
syah, maupun model-model perhitungan nilai-nilai kain tersebut dalam soal
pembayaran harta mas kawin dengan transaksi mata uang rupiah.
1. Interkoneksi Masyarakat kepala Burung
dalam lingkup wilayah Budaya Doberai sebagai implikasi dari budaya transaksi kain
timor dan perdagangan budak.
Kelompok suku di wilayah kepala Burung
yang termasuk dalam wilayah Budaya Doberai dengan orientasi budaya pada transaksi
tukar – menukar kain timur adalah Suku Arfak ( Hatam, Meyahk, Moile, dan Sougb),
Suku Madik, Suku Karon/Meyah, Suku Meybrat,
danSukuTehit.
Kelompok etnis tersebut di atas,
melakukan perdagangan tradisional kain timur antar klen, gabungan klen, atau etnis.
Berdagang tidak hanya tukar – menukar barang – barang yang sangat diperlukan dengan
benda – benda yang mempunyai ukuran nilai tertentu, seperti perhiasan dan manik
– manik, tetapi juga didorong oleh keinginan untuk memperbesar rasa solidaritas
antar orang – orang yang saling bertukar – tukaran, atau keinginan kedua belah pihak
untuk menaik kan gengsi dengan memberikan benda – benda yang lebih berharga daripada
yang diterimanya, (Sanggenafa danKoentjaraningrat, 1993:156).
Fenomena pertukaran benda - benda berharga, seperti kain timur dan manik - manik serta benda - benda logam lainnya telah terjadi jauh sebelum terjadinya persbaran agama kristen. Pertukaran kain timur antar inividu dan kelompok terjadi berdasarkan suatu kesepakatan tertentu, seperti kesepakatan waktu pengembalian dan besarnya bunga yang harus ditanggung oleh debitur.Secara tradisional suku - suku di wilayah Kepala Burung Papua mengenal sistem investa jangka pendek. Mereka juga memberlakukan sangsi sangat tegas bagi debitur sehingga orang yang hendak melakukan aktivitas ini haruslah siap secara materi dan juga psikis. Seorang debitur harus mengingat waktu pengembaliannya, karena jika tidak mengembalikan tepat waktu sangsinya adalah menerima secara suka rela perlakukan kreditur kepadanya.
Seperti pada sistem perbankan modern dewasa ini perjanjian dengan debitur diatur sesuai aturan - aturan perbankan itu sendiri. Jika tidak dilunasi akan ditindak tegas sesuai aturan yang berlaku. Demikian pula halnya pada masyarakat tradisional di Kepala burung. Debitur yang tidak dapat menyelesaikan utang kain timur dikenakan sangsi tegas. Salah satu sangsi yang diberikan adalah mengambil salah seorang anak debitur sebagai budak atau orang Meybrat menyebutnya awe. Budak ini ada yang tetap bekerja kepada kreditur sebagai majikannya, tetapi adapula yang kemudian diberikan kreditur kepada relasi bisnis kain timurnya yang lain.
Fenomena perdagangan kain timur dan budak ini mengakibatkan sehingga pada saat ini dapat ditemukan perempuan dan laki - laki Meybrat yang dahulu dijadikan budak ke wilayah Arfak telah menggunakan marga orang Arfak dan melakukan perkawinan dan melahirkan beberapa keturunan baru yang mendiami daerah arfak. Adapula budak yang dijual kepada kepala suku di wilayah doreri, salah satu diantara mereka adalah seorang gadis yang dibaptis dua Pendeta Zending pertama ottow dan Geissler dengan nama Diana sebagai orang Papua pertama yang menerima kristus atau sebagai kristen.
Setelah masuknya agama Kristen di wilayah Meybrat, para pendeta dan pastor melarang masyarakat untuk melakukan aktivitas ini. Para Pendeta dan Pastor mengambil anak -anak kemudian dimasukan ke asrama - asrama. Anak - anak dipisahkan dari orang tua agar tidak menjadi korban perdagangan kain timur dan budak. Anak - anak diperkenalkan dengan sistem pendidikan formal berbasis asrama. Banyak di antara mereka berhasil menjadi guru,polisi, tentara dan mantri/perawat. Adapula yang berhasil dan menduduki jabatan penting dalam birokrasi pemerintahan dan legislatif.