Minggu, 02 Juli 2017

Petani Papua dan Kelapa Sawit

Petani Papua dan Kelapa Sawit adalah dua budaya yang berbeda. Petani Papua memiliki tradisi bercocok tanam yang sangat berbeda dengan sistem pertanian modern. Fenomena ini nyata dalam keterlibatan petani Papua  dalam perkebunan kelapa sawit. Program pembangunan pertanian dengan intensifikasi tanaman kelapa sawit sebagai tanaman monokultur dengan orientasi pasar di Papua tidak tepat karena tidak sesuai dengan budaya pertanian masyarakat lokal.

Pada beberapa areal di mana Perkebunan Kelapa Sawit dibangun, seperti Arso, Prafi, Lereh, Klamono dan Mogoi  keterlibatan penduduk lokal sangat rendah. Kesejahteraan yang diimpikanpun tak kunjung datang. Hal ini terbukti dengan tidak terjadinya perubahan yang singnifikan dalam tingkat pendapatan dan kesejahteran Petani PIR Kepala sawit. Walaupun mereka telah kehilangan tanah ulayat, areal berburu, meramu dan tempat berladang. Dalam penelitian tesis S2  antropologi UGM  dengan topik" PETANI PAPUA DAN INOVASI PERTANIAN: Pengaruh Budaya Terhadap Pola Adopsi Teknologi PIR Kelapa Sawit pada Masyarakat Arfak di Manokwari (Nauw, 2007) mengungkapkan bahwa pengkajian dampak lingkungan dalam aspek sosial budaya kurang diperhatikan  pada saat  pembuatan dan pelaksanaan program pembangunan kelapa sawit di lingkungan masyarakat Papua umumnya dan secara khusus orang Arfak. Kekurang perhatian pada aspek sosial budaya tampak pada kasus keterlibatan petani Arfak dalam aktivitas sebagai petani PIR dan peningkatan kesejahteraan yang diharapkan.

Beberapa aspek budaya Arfak, seperti pola pertanian subsistem dengan sistem perladangan berpindah - pindah yang dikenal sejak nenek moyang tidak mudah ditinggalkan; pola tempat menetap bersama keluarga luas (extended family) diganti dengan bentuk pemukiman untuk keluarga inti, solidaritas antar kerabat sangat tinggi sehingga kecenderungan untuk meninggalkan areal transmigrasi lokal PIR kelapa sawit mengakibatkan terjadi sewa- menyewa lahan berbulan - bulan bahkan menjual lahan kepada orang luar; terdapat kepercayaan terhadap suangi (Black Magic) sebagai akibat budaya balas dendam dan menggunakan tenaga petani penyakap dengan sistem balas jasa.

Aspek - aspek budaya lokal umumnya kurang menjadi perhatian pemerintah pusat dan pemerintah Daerah dalam melaksanakan program pembangunan pertanian, khususnya kelapa sawit di Papua. Pemerintah hanya berpikir memperoleh income berupa pajak dari para investor dan memperkaya para investor yang adalah para kapitalis,  tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakat.  Padahal penduduk lokal telah kehilangan hak - haknya atas tanahnya. 

Pemerintah Daerah Kabupaten - kabupaten  di  Papua dan Papua Barat, seyogyanya lebih menunjukkan keberpihakkan kepada orang asli Papua. Bila perlu menolak berbagai program pembangunan yang semata - mata hanya mengeksploitasi sumber daya alam dan perampasan tanah ulayat masyarakat adat untuk kepentingan para kapitalis. Pemerintah seyogyanya melindungi masyarakat dan hak penguasaan Sumber daya alam serta berupaya,  menggandeng para stekholder khususnya para akademisi  untuk melakukan studi tentang pontensi daerah sehingga pemerintah daerah dapat mengembangkan potensi daerahnya sebagai pemasukan Pendapatan Asli Daerah ( PAD). Jangan mudah mengambil keputusan dan kebijakan pembangunan khususnya melepaskan berhektar - hektar tanah ulayat masyarakat Papua, yang pada akhirnya hanya "memarginalkan" dan "memiskinkan" orang Papua Sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Natal Momen Paling Bahagia Bagi Orang Papua . By.. Monica Nauw

 Natal atau kehiran Yesus adalah momen bahagia bagi semua umat Kristen di dunia dan khusus umat Kristen di Papua.  Pulau Papua yang merupaka...