Minggu, 04 Desember 2022

SAGU POHON KEHIDUPAN ORANG PAPUA. By. Monica Nauw.

 SAGU POHON KEHIDUPAN ORANG PAPUA DENGAN MULTI FUNGSI

Sagu adalah tanaman lokal khas Papua, sebagai tanaman penghasil Pati dari family arecaceae. Sagu dikonsumsi orang Papua sebagai makanan lokal. Sagu diolah dengan berbagai cara, antara lain dengan cara bakar, panggang, dan menggunakan air panas. 

Cara pengolahan Sagu bakar dilakukan dengan cara, sagu dibungkus dengan jenis sayur tertentu, seperti sayur gedi yang telah dibumbui garam lokal, kemudian dibungkus dengan kulit kayu lalu dikuburkan dalam tumpukan bara api, jika telah mengeluarkan bau harum, itu pertanda sagu telah masak dan siap disajikan untuk dikonsumsi bersama daging babi. Daging babi pun  diolah dengan cara yang sama. 

Mengolah sagu dengan cara bakar in,i merupakan cara mengolah  makanan pada  suku - suku Pedalaman wilayah Kepala Burung Papua yang termasuk wilayah budaya Domberai, sepert suku Meybrat.

 Cara kedua dalam mengolah sagu adalah dengan cara asar. Sagu asar dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama, sagu dicampur dengan kacang dan jenis sayuran tertentu lalu dibungkus dengan daun kemudian   diasar di atas bara api hingga masak dan disajikan dengan daging babi untuk disantap.

 Cara asar yang kedua dikenal dengan sagu forna.  Sagu forna membutuhkan proses  pengolahan  lebih rumit dan membutuhkan waktu serta kesabaran. Sagu yang hendak diolah, terlebih dahulu diayak dan dijemur. Untuk menjemur membutuhkan panas matahari yang cukup agar sagu benar kering, kemudian sagu dimasukkan dalam forna.  Forna adalah alat atau wadah yang terbuat dari tanah liat. Sebelum sagu diolah, alat tersebut dipanaskan terlebih dahulu,  lalu diasar atau dipanggang  di atas bara api.  Forna berbentuk persegi panjang yang di dalamnya dibuat sekat - sekat, sagu dimasukkan pada setiap sekat, kemudian di asar atau dipanggang, sagu telah matang  berbentuk persegi panjang. Sagu forna dapat bertahan lama. Sagu forna biasanya menjadi makan pagi atau sarapan.

Cara ketiga adalah pengolahan makanan yang dikenal dengan nama papeda. Pengolahan papeda dilakukan dengan cara,  sagu dimasukan dalam wadah kemudian diberi sedikit air dingin dan perasan jeruk dan disaring untuk membersihkan dari kotoran setelah itu dituangi dengan air panas medidih sambil diaduk hingga menjadi adonan atau dikenal dengan papeda. Papeda dimakan dengan menggunakan ikan kuah kuning. Papeda dikonsumsi oleh semua suku di Papua, terutama suku - suku yang wilayah ekologinya ditumbuhi tanaman sagu.

 Tiap suku menggunakan peralatan konsumsi berbeda - beda, seperti suku Sentani, air dimasak dalam wadah tanah liat dan dimasak hingga mendidih kemudian digunakan untuk membuat papeda. Begitu pula  untuk memasak ikan. Setelah ikan dibersihkan, dimasukan dalam air yang telah didihkan lalu dimasukkan bumbu dan kemudian dimasak  dalam wadah tanah lia hingga matang dan siap untuk disajikan. Pada saat ini olahan telah mengami perubahan, bentuk menu dan cara pengolahannya.

Cara pengolahan sagu lainnya yang dikenal dengan sebutan papeda bungkus. Cara pengolahan papeda  dibungkus dengan daun, Papeda setelah dibungkus akan  dibiarkan semalam kemudian dimakan pada keesokan harinya. Papeda bungkus adalah makanan tradisional suku - suku di wilayah budaya Tabi atau Dofonsoro, atau wilayah kota dan kabupaten Jayapura seperti suku Sentani, Tabla, Abrab dan lainnya.

    Tanaman atau tumbuhan sagu, menurut Ruddle at.al, ada 8 (delapan) jenis sagu yang tersebar di berbagai belahan penjuru bumi ini, yaitu arecastrum, arenga, caryota, corypha, eugeissona, mauritia, metroxylon dan roystonea. Genus sagu yang banyak terdapat di Irian jaya adalah genus metroxylon( Ruddle dalam Mansoben,1990). 

Tanaman sagu dari Genus metroxylon tumbuh diberbagai daerah di Papua pada tiga zona ekologi dari empat zona ekologi dan ekosistem berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh Walker dan Shoemaker (Muller, 2000), yaitu zona ekologi dan ekosistem pantai, rawa dan muara sungai zona ekologi dan ekosistem pantai dan zona ekologi dan ekosistem kaki - kaki gunung dan lembah - lembah kecil.

  Suku - suku asli Papua yang bermukim di dalam zona ekologi dan ekosistem tersebut memiliki kearifan tentang tanaman sagu, seperti suku - suku di kabupaten Waropen, suku Kokoda di Sorong Selatan, Suku Wamesa di kabupaten Teluk Wondama, Suku Sentani dan suku Tabla di kabupaten Jayapura , suku Abrab di kabupaten Keerom . suku Kamoro di kabupaten Mimika, suku Asmat, suku Kimaam dan suku Marind Anim serta Koroway di Kabupaten Merauke.

     Orang Papua dalam tiap tradisi memiliki kearifan lokal dalam klasifikasi sagu. Cara pembedaannya, berdasarkan jenis sagu berduri dan tidak berduri. Pembedaan juga berdasarkan isi dan bentuk Pati sagu. Orang Sentani adalah salah satu suku yang memiliki kearifan tentang sagu. Suku ini mendiami pinggiran danau Sentani di wilayah administrasi Kabupaten Jayapura. Mereka memiliki hubungan geneologis dengan suku - suku yang mendiami wilayah pesisir teluk Youtefa, seperti orang Tobati, Enggros dan Nafri. Persamaan diantara tampak dalam ciri - ciri fisik, Struktur sosial dan persamaan istilah tertentu dalam bahasa.

      Suku Sentani mengklasikan sagu ke dalam dua jenis yaitu sagu berduri dan sagu licin atau tidak berduri. Sagu berduri memiliki kandungan Pati lebih banyak dibandingkan sagu licin, namun mereka cenderung mengkonsumsi sagu licin karena rasanya lebih enak.

       Orang Sentani membedakan Sagu licin ke dalam 9 (sembilan) jenis berdasarkan daun, isi Pati, batang dan durinya, sebagai berikut: Rando, para, yepah, follo, monggon, ruruna, yakhalope, manno dan panne ( Monica Nauw, 2019). Sagu jenis yepah biasanya disediakan untuk dikonsumsi dalam acara adat, sedangkan sagu jenis pane memiliki kualitas kurang baik, sehingga biasa sagu jenis ini ditebang untuk menghasilkan jamur sagu dan juga dijadikan perangkap untuk menjerat babi hutan.

        Kearifan ekologi sagu orang Papua umumnya, dan khususnya orang Sentani perlahan- lahan hilang. Proses enkulturasi pengetahuan alam flora dari generasi ke generasi tidak dapat dilakukan lagi dengan hilangnya beribu pohon sagu. Padahal menurut menurut Profesor Herman Yohanes ahli bahan bakar non konvensional mengatakan hutan sagu di Irian jaya saja, dapat memberi makan 535 juta anak cucu Adam dan Hawa ( Herman Yohanes dalam George Yunus Aditjondro, 2003).

         Orang Papua selain memanfaatkan  sagu sebagai bahan makanan, juga memanfaatkan bagian lainnya dari pohon sagu, seperti daun sagu untuk membuat atap rumah dan wadah untuk menaruh, pelepah sagu untuk dibuat wadah untuk menaruh, batang sagu untuk membuat lantai ruah dan jembatan, lidi sagu untuk membuat sapu serta getah pada pelepah dan pati sagu digunakan untuk mengobati penyakit, seperti cacar air.

         Hilangnya pohon sagu di Papua terjadi dengan sengaja karena adanya pendapat bahwa manusia Indonesia lebih baik mengkonsumsi nasi dari bulir - bulir padi dari pada sagu. Hal tersebut nampak dengan ditebang beribu hektar hutan sagu untuk menanam padi dan hutan sagu dibabat untuk pembangunan infrastruktur jalan raya.  Tindakan tersebut menunjukan bahw tanaman sagu adalah tanaman kelas dua dibanding tanaman padi. Padahal sagu memiliki kandungan karbohidrat yang sama dengan padi, malah sagu mempunyai keunggulan menimalisir kadar gula dalam tubuh manusia. Dengan demikian sagu di Papua perlu dikonservasi untuk menjandi sumber pangan lokal guna menjaga ketahanan pangan Nasional. 


        

      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Natal Momen Paling Bahagia Bagi Orang Papua . By.. Monica Nauw

 Natal atau kehiran Yesus adalah momen bahagia bagi semua umat Kristen di dunia dan khusus umat Kristen di Papua.  Pulau Papua yang merupaka...