Jumat, 19 Mei 2017

Orang Meybrat Dalam Interkoneksi wilayah Kepala Burung Papua



ORANG MEYBRAT DALAM INTERKONEKSI MASYARAKAT KEPALA BURUNG



A.      NAMA DAN BAHASA

Nama “Meybrat” terdiri dari dua kata, yaitu Mey dan Brat. Kata Mey berarti bahasa, dan Brat secara harafiah mengartikan “bagian timur”. Namun dimaksudkan, adalah nama yang menunjukkan suatu kelompok orang di bagian sebelah timur yang berbicara bahasa Brat (Koentjaraningrat, 1993 : 156).

Panggilan nama kelompok orang tertentu di bagian sebelah timur ini, merupakan suatu sistem pengkategorisasian orang berdasarkan persamaan dan perbedaan bahasa dan diversitas lingkungan ekologi menurut sistem pengetahuan yang dimiliki oleh suatu kelompok sosial tertentu yang berdiam di sebelah barat, yaitu orang Tehit. Mereka menyebutnya Na Brat, yang berarti “orang Brat” atau orang Ayamaru yang dibedakan dari orang berbahasa Tehit. Kemudian orang Meybrat mengkategorikan diri mereka sebagai suatu kelompok orang yang sama dalam suatu dialek bahasa dan lingkungan tempat tinggal, yang dapat dibedakan dengan kelompok orang yang tinggal di bagian sebelah timur lagi, yaitu yang disebut Ra Brat yang berarti orang bagian timur lagi,  yang berarti orang bagian timur, atau yang lazim dikenal dengan nama “orang Aifat”.

Bahasa Meybrat serupa dengan bahasa lain di Papua, dan khususnya di daerah Kepala Burung pada Kabupaten Sorong adalah suatu bahasa yang diucapkan oleh suatu kelompok penduduk di daerah interkulasrin di tengah-tengah Kepala Burung Papua, yang dinamakan orang Meybrat. Meskipun penduduk Meybrat di daerah interkulasrin itu dibedakan dalam lima kategori sub kelompok orang menurut wilayah tempat tinggal, namun di dalamnya terdapat 10 jenis klasifikasi Mey (dialek bahasa) yang diucapkan dalam kelima sub kelompok tersebut, yang terdiri dari Mey Pfet dan Mey karon diucapkan orang Meybrat asal Karon; Mey Mare dan Mey Fayoch diucapkan oleh Meybrat asal Mare dan sekitarnya, mey ach, mey chabech, mey asmaun, dan mey maka diucapkan oleh orang Meybrat berasal Kecamatan Aifat, atau yang disebut “ra brat”, Mey the diucapkan oleh orang Meybrat di bagian selatan, atau disebut Ra the sedangkan Mey the brat diucapkan oleh orang Meybrat di sekitar interlakustrin, atau yang dikenal ra maroe (Wanane,1997: 72-73).  Berkaitan dengan pembedaan tersebut di atas, menurut  Sanggenafa  dalam  Koentjaranigrat (1993:156), Bahasa Meybrat, bahasaMadikdanbahasaKaronadalahbahasa- bahasa yang berbeda, namuntermasuksatugolongan, yaitu yang para ahli linguistic disebut Fila Papua Barat. Golongan ini berbeda dari golongan bahasaArfak, yang termasuk Fila KepalaBurungTimur.

Kata pfet, Mare, karon danBrat sesungguhnya adalah nama-nama tempat tinggal. Pengkategrisasian orang Meybrat ke dalam sub kelompok-sub kelompok penduduk adalah suatu model klasifikasi diantara sesama tetangga orang Meybrat menurut sistem kekerabatan berdasarkan dialek bahasa dan diversitas lingkungan tempat tinggal. Pengkategorisasian menurut kerabat dan bukan kerabat berdasarkan persamaan dan perbedaan dialek bahasa dan budaya dapat memperkuat solidaritas kekerabatan dan mempengaruhi keputusan keluarga bahwa seorang lelaki itu harus kawin dan memperoleh anak yang akanmeneruskan garis keturunan dan mempertahankan tanah warisan leluhur.



B.      SISTEM KEKERABATAN DAN PERKAWINAN

1.       Sistem Kekerabatan

Seperti  pada masyarakat kesukuan lainnyasetiap orang Meybrat dalam segala hal telah diikat dan diatur oleh lingkungan keluarga dimana orang itu dibesarkan. Ketika dilahirkan dan dibesarkan sebagai anak dari sepasang suami-istri, seorang individu itu sudah sejak usia dini dikondisikan dengan berbagai watum (tata adat) kekerabatan. Tata adat yang menentukan keanggotaan seseorang  dalam hubungan dengan individu atau suatu kelompoktertentu, dimanatelahmenempatkan seseorang dalam suatu jaringan kewajiban dan kerjasama.



2.       Konsepsi  Sistem Kekerabatan

Konsepsi  sistem kekerabatan orang Meybrat  merupakan serangkaian aturan-aturan yang mengatur penggolongan orang-orang yang sekerabat, yang melibatkan adanya berbagai hak dan kewajiban diantara orang-orang sekerabat, dandengan orang-orang yang tidak tergolong sebagai kerabat atau yang disebutra s’riam.

Hubungan kekerabatan dalam kehidupan orang Meybrat, terdiridaritiga macam hubungan  yaitu : (1) hubungan kekerabatan yang sesungguhnya antara seorang individu dengan orang lain yang terjadi karena hubungan persamaan keturunan atau “darah” dan kekerabatan yang terjadi karena hubungan perkawinan; (2) hubungan kekerabatan yang tidak dapat dihitung secara sungguh-sungguh lagi, tetapi karena kebiasaan adat, seperti karena totemisme, dan atau hubungan yang terjadi antara seorang ego dengan sejumlah orang lain karena nenek moyang dari kerabat-kerabat tadi dulu diangkat (diadopsi) oleh nenek moyang ego. Jadi hubungan kekerabatan yang sudah tidak dapat diterangkan dengan pasti lagi oleh anggota masyarakat baru (generasi muda) ketimbang kakek-neneknya dan atau hubungan perkawinan nenek moyang yang sudah tidak diingat lagi; (3) hubungan kekerabatan yang terjadi karena transaksi tukar-menukar kain timur.



3.       Kelompok Kekerabatan

Orang Meybrat mengorganisasikan sistem kekerabatan berdasarkan kepada azas kekerabatan yaitu : 1. Keluarga; 2. Fam atau keret (klen); (3) suku dan; (4) kelompok ekonomi transaksi kain timur.





3.1.   Keluarga

Keluarga dalam konteks ilmu Antropologi mengandung dua pengertian yaitu : Pertama, sistem kinship; dan kedua, kingroup atau kindred (family).

Kategori pertama, adalah yang disebut keluarga inti (nuclear family), dimaksud adalah satuan kekerabatan terkecil yang terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak-anakyang belum menikah.

Bentuk kelompok kekerabatan kecil yang berdasarkan orientasi keluarga conjugal tampaknya kurang dikenal dalam kehidupanbudayamasyarakat Meybrat karena, dianggap bentuk keluarga orientasi itu bersifat individualistis, dan hal ini bertentangan dengan pengetahuan kebudayaan orang Meybrat yang mengutamakan azas kekerabatan (kehidupan sosial) di dalam segala aspek kegiatan kebudayaan.

Orang Meybrat mengenal bentuk kekerabatan (kin group) merupakan kelompok kekerabatan yang terdiri atas suatu kesatuan kekerabatan yang disebut “famili” atau kinred. Artinya, seorang (ego) bergaul saling bantu membantu dan melakukan aktivitas bersama dengan saudara-saudara sepupunya dari pihak ayah maupun pihak ibu.

Kelompok kekerabatan yang lebih luas lagi, ialah “keluarga luas” yang para ahli Antropologi menyebutnya Extended family, dalam kehidupan orang Meybrat juga dipandang penting. Keluarga luas initerdiri atas lebih dari satu keluarga inti ego, yang seluruhnya merupakan suatu kesatuan sosial yang erat. Biasanya mereka tinggal dalam satu ruang, berdasarkan adat perkawinan virilokal. Kelompok kekerabatan ini diakui berdasarkan ikatan-ikatan geneologis.

Mereka hidup saling menjalin kontak satu sama lain dan saling bertetangga dalam suatu  struktur pemukiman tertentu dari kampung. Hal ini juga berpengaruh pada pola pemukiman ketika orang Meybrat berurbanisasi ke kota Sorong, merekaumumnyamembuatpolapemukimanberdasarkan kampong di manamerekaberasal.



3.2.   Fam atau Keret (Klen)

Kesatuan kekerabatan yang terdiri dari segabungan keluarga luas yang mengorganisasikan diri mereka berasal dari seseorang nenekmoyang, dan yang satu sama lainnya terikat hubungan melalui garis-garis keturunan laki-laki saja, atau bergaris keturunan patrilineal.

Kesatuan kerabat berdasarkan klen patrilineal ini dipandang penting dan bersifat kompetitif dalam kehidupan orang Meybrat. Hal ini terjadi akibat politik Bobot dantransaksitukar – menukarkain timur serta lingkungan ekologi tempat tinggal.



3.3.   Suku

Istilah lokal bahasa Meybrat untuk kata suku, tampaknya tidak ada, sehingga biasanya orang Meybrat menggunakan kata ra (orang) untuk menunjukkan satu kesatuan masyarakat yang menggunakan satu dialek bahasa yang sama, apabila dibedakan dengan kelompok masyarakat lain.

Kelompok-kelompok kekerabatan berdasarkan sub etnis ini mempunyai dialek bahasa tersendiri, yang membedakan sub kelompoknya dengan sub kelompok lain. Unsur-unsur pembeda dan pengikat solidaritas utama sub kelompok-sub kelompok etnis (suku) Meybrat ini adalah dialek bahasa yang dipakai dari teritorial geneologis/klen yang menjadi pusat konsentrasinya.



3.4     Kelompok Ekonomi Transaksi Kain Timur

Kelompok kekerabatan yang juga dikenal dalam budaya orang Meybrat adalah kelompok kekerabatan berdasarkan kawan dagang tukar-menukar kain timur atau orang Meybrat menyebutnya “tafoch”. Istilah tafoch dalam arti harafiahnya, adalah api, dan dalam arti luasnya, adalah “jaringan sosial”, kata api merupakan suatu ungkapan yang menggambarkan ‘makna api’ bagi kehidupan manusia dan sebaliknya hakekat dari hidup manusia diibaratkan sebagai makna api itu. Makna kehangatan atau api harus dicari di luar lingkungan manusia, yaitu melalui jaringan-jaringan hubungan sosial atau pergaulan antar manusia.

Kain timur adalah alat penghubung (media), dilakukan dengan cara transaksi tukar-menukar atau orang per orang, orang per kelompok, dan kelompok per kelompok dalam suatu jaringan kekerabatan yang sangat luas. Hubungankekerabatan berdasarkan temandagang tukar-menukar kain timur diawali dengan suatu perkawinan, di mana pihak laki-laki membayar hartamas kawin kepada pihak perempuan, dan pihak perempuan menerima harta mas kawin kain timur tersebut lalu kemudian sebagai debitor memberikankain-kain itu lagi kepada pihaklaki-laki sebagai kreditor. Pemberiandari pihak perempuan (debitor) disebur ru-ra, dan pihak laki-laki sebagai penerima (debitor) disebut bo-ru. Jaringan hubungan dagang ini mengakibatkan semua orang yang hidup terisolasi antar satu dengan yang lainnya saling berkomunikasi sebagai satu kesatuan (totalitas) yang utuh. Keutuhan yang dicari dan dikejar bersama melalui kelompok kekerabatan ini, adalah untuk mencapai kehidupan yang damai dan sejahtera. Melalui hubungan ini orang Meybrat berusaha membatasi kehidupan yang saling bermusuhan dan saling mencurigai antar manusia untuk menghindarkan terjadinya hal yang buruk bagi hubungan antar manusia.

Hubungan yang terjalin dalamkelompok kekerabatan orang Meybrat pada prinsipnya adalah : (1) bekerjasama menampung kebutuhan anggota kerabat akan hubungan yang erat, kasih sayang dan emosional yang memberikan rasa keamanan dan ketenangan batin; (2) bekerjasama mengurus kebutuhan rumah tangga; (3) sebagai kesatuansosial dalam mata pencahaian hidup (ekonomi) dan politik (prestise dan kekuasaan); (4) bekerjasama mengasuh dan mendidik anak-anak sebagai anggota masyarakat baru; (5) menjaga danmenguasai hak waris berupa harta milikkelompokbersangkutan dari intervensi orang lain (ra sriem); (6) bekerja sama menjaga dan menguasai hak ulayat atas tanah, air, dan hutan produksi; (7)bekerja sama dengan relasi dagang kain timur untuk menyelesaikan persoalan sosial yang menimpa kelompok; (8) menjaga danmembina identitas kelompok baik kekuasaan maupun gengsi di mata masyarakat umum; (9) sebagai kesatuan adat berkewajiban memelihara aturan-aturan (norma-norma) dn nilai-nilai budaya yang berlaku umum demi keseimbangan dan keseimbangan manusia dan kebudayaan Meybrat.



4.         Perkawinan

Uraian ini tidak bermaksud menjelaskan sistem adat dan upacara perkawinannya secara detail, tetapi lebih ditekankan pada konsepsi perkawinan dan model-model aturan yang ditekankan dalam sistem kekerabatan orang Meybrat  dan bagaimana seorang individu bertindakan sebagai warga kerabat.



4.1.Konsep Perkawinan

Konsepsi perkawinan orang Meybrat ditekankan terutama kepada keseimbangan dan kesinambungan manusia dan kebudayaan Meybrat.

Di dalam konteks ini, perkawinan bagi mereka adalah potensi yang memberi hidup, karena perkawinan bermakna esensial bagi kelahiran anggota-anggota masyarakat baru untuk kesinambungan dankeseimbangan manusia dan kebudayaan Meybrat. Selain itu juga, perkawinan merupakan institusi yang dianggap berfungsi sebagai titik temudan pengkontribusian kekuatan-kekuatan yang potensial. Dikatakan tanpa anggota-anggota masyarakat baru (anak-anak yang lahir) tidak akan ada keseimbangan dan kepastian sosial, politik dan ekonomi dalam hidup yang pada akhirnya tergeser ke pinggir dalam segala hal lalu menjadi punah.

Bagi orang Meybrat persoalan kawin atau menikah bukan persoalan dua person yang kawin, dan bukan pula persoalan orang tua saja, melainkan persoalan semua kerabat sebagai pemelihara keseimbangan dan penerus kesinambungan manusia dan kebudayaan Meybrat. Sehingga perkawinan tidak pernah hanya menyangkut dua orang, tetapi selalu melibatkan hubungan dua paruh kelompok masyarakat, yaitu paruh kelompok laki-laki sebagai pemberi harta mas kawin dan paruh kelompok perempuan sebagai penerima dan pemberi “rura”.

Perkawinan bagi orang Meybrat adalah hubungan yang permanen antara lelaki dan perempuan yang diakui secara sah oleh orang tua, kaum kerabat, dan masyarakat umum setempat bedasarkan atas peraturan perkawinan yang berlaku.



4.2.     Model-model aturan perkawinan

Model-model aturan perkawinan yang normatif dan dianggap ideal menurut kebudayaan Meybrat, secara operasional ditekankan melalui sistem kekerabatan sebagai berikut:

Perkawinan harus dilakukan melalui pembayaran harta mas kawin melalui sistem peminangan (bofo), pembayaran harta mas kawin (boyo) dan pemberian fotoru-ra bersama boru, yaitu ekonomi transkaksi tukar-menukar kain timur di antara kedua paroh kelompok kerabat (besan). Pembayaran harta mas kawin dengan memberikan kain-kain kepada pihak pemberi wanita dalam konteks fertilitas, dipandang sangat berpengaruh sekali dalam proses kehamilan atau pemberian anak dalam garis patrilineal.Sehinggaapabiladalamsebuahperkawinan, wanita tidak dapat melahirkan atau memberikan anak kepada suami dan kaum kerabatnya, maka wanita tersebut harus rela mengizinkan dan merestui suaminya untuk menikah dengan wanita lain, atau wanita dapat bernegosiasi dengan keluarganya untuk mengembalikan harta wanita atau mas kawin yang pernah diberikan pihak kerabat pria kepada kaum kerabat wanita tersebut.

Pembayaran harta mas kawin harus sesuai dengan jumlah kain-kain yang pernah ayahnya keluarkan untuk membayar harta mas kawin ibu kandungnya, dan atau yang pernah ayahnya keluarkan untuk membayar harta mas kawin saudara laki-lakinya. Harta mas kawin kain timur yang dibayar bukan saja diterima oleh orang tua dan pihak keluarga saudara lelaki kandung ibu saja, melainkan semua kerabat yang telah berjasa baik untuk orang tua maupun kepada anak wanita itu.

Sistem pembayaran harta mas kawin dilakukan dengan cara pihak lelaki saebagai penerima gadis memberikankain-kain timur kepada pihak perempuan sebagai pemberi gadis. Pemberianitu biasanya terjadipenawaran dari pihak pemberi gadis kepada pihak penerima gadis jika nilai dan besar pemberian jenis-jenis kain-kain itu tidak sesuai ketentuankaum kerabatnya, nilai dan besarnya jenis-jenis kain timur atau boyo itu harus sesuai dengan nilai dan besarnya jenis-jenis kain timur (boyo) yangdikeluarkan ketika pembayaran ayah mempelai wanita. Jika pemberian pihak lelaki telah menarik danmemuaskan pihakperempuan, maka pihak perempuan sebaliknya membalas denganmemberikan bobiyat (makanan-minuman tuo/segeru). Pemberian ini ada yang bersifat gratis, dan ada pula yang harus dibayar dengan kain timur atau uang oleh pihak kerabatpria.



             C.      Interkoneksi  Masyarakat Kepala Burung Dalam Proses Transaksi Tukar- Menukar Kain Timur

1. Interkoneksi masyarakat Kepala Burung Domberai dengan Orang luar serta masyarakat kepala Burung  Bomberai

Sejarah kontak kebudayaan yang terjadi di wilayahkepalaBurung Papua umumnyadanwilayah orang Meybratkhususnya bukan saja terjadi setelah orang-orang Eropa pertamamengunjungi daerah orang Meybrat di Ayamaru pada tahun 1908 danmasuknya pemerintah Belanda, tetapi kotak kebudayaan ini juga sudah berlangsung lama sebelum tahun 1908 tersebut. Beberapa publikasi mengenai daerah Kepala Burung baik berupa dokumen resmi pemerintah maupun berupa hasil penelitian mengemukakan adanya penduduk di daerah ini yang telah lama melakukan kontak dengan dunia luar sebelum pemerintahan Belanda.

Penduduk di daerahkepalaBurungumumnyadankhususnya orang Meybrat sudah lama menjalin hubungan dagang dengan pelaut-pelaut dan saudagar-saudagar pembeli budak, burung cenderawasih, sagu, damar, dan rotan kuning dari Kepulauan Maluku,terutama Banda dan Ternate melalui penduduk di pesisir pantai teluk Bintuni, Babo, dan para raja-raja di Fak-fak Onim. Dalam sejarah kebudayaan, Kepala Burung dan Bombarai (Fak-Fak) merupakan satu wilayah kebudayaan (Held,  Wurm, Sutaarga; Flassy, dalamWanane, 1997 : 87) yang pertautanadat istiadat, bahasa, persebaran penduduk, perlusan kekuasaan,pergaulan dan hubungan keterikatan perdagangan.

 Melalui kontak hubungan perdagangan itu, penduduk Meybrat di daerah Kepala Burung mempergunakan alat-alat dari logam atau besi (berupa kapak, parang, dan pisau), dan kompleksitas adat kain sakral (sacralegious cloth),yang secara populer dikenal dengan sebutan kain timur, atau bo dalam bahasa Meybrat dan nothoq (kain suci) dalam bahasa Tehit. Persebaran kain tersebut antara lain berfungsi sebagai alat bayar dalam segala hal yang bertalian erat baik yang menyangkut harta mas kawin maupun yang langsung berakibat terhadap status sosial seorang “laki-laki”.

Kontak kebudayaan itu terjadi pada abad ke XV-XVI. Menurut J.C.  van Leur  dan MeilinkRoelofsz, yang bercerita tentang perdagangan dan masyarakat Indonesia dalam sejarah ekonomi di Asia; M.A.P. Meilink Roelofsz yang menulis tentang jalur perdagangan di antara orang Asia sendiri dan pengaruh orang Eropa di Indonesia. Keduanya menceritakan, bahwa pada masa perdagangan itu “kain-kain tenun” sebagai medium utama dari asia bagian barat (India, China, Bengali, dan Burma) serta rempah-rempah dan kayu cendana, dan burung Cenderawasih sebagai medium utama dari Asia bagian timur dimana di dalam pertemuan sebagai obyek dagang. Lebih jelas pula dari tulisan Toos van Dijk dan Nico de Jong  bahwa pada masa abad ke XVI Indonesia terkenal daerah kaya akan produksi rempah-rempah dan kayu cendana, sehingga terjadilah inter-Asian commecial relation till 1621, dan pelabuhan Malaka sebagai pusat perdagangan atau transaksi antara keduabelah pihak. Dari 17 jenis barang komiditi itu dalam jalur perdagangan itu, antara lain disebutkan “kain-kain ke Irian (melalui Fak-Fak) sago ke Banda”. Selain sago, termasuk juga budak dan burung cenderawasih dari Irian ke Banda ( Wanane, 1995: 88)

 Demikian, di dalam kontak kepentingan-kepentingan perdagangan itu, orang Meybrat berkomunikasi dengan orang-orang di pantai, terutama di muara-muara sungai seperti sungai Kais, sungai Kaipus, sungai Warongge, Kali Sekak, dan sungai Kumandan yang disebutkan di atas sebagai arena kontak kebudayaan antar penduduk Maybrat dan Tehit dengan para saudagar-saudagar dari Banda melalui raja-raja di Bomberai-Onim Fak-fak. Melalui kontak itu, penduduk Maybrat mulai menggunakan kain-kain tenun itu sebagai “benda paling berharga” yang langsung berakibat terhadap status kepemimpinan “bobot” disebukan di atas.

Proses akulturasi yang terjadi dan dirasakan pentingnya “kain-kain berharga” itu di lingkungan sosial orang Maybrat, selanjutnya mendorong mobilitas penduduk Maybrat ke berbagai kota di pesisir Kepala Burung, terutama Sorong, Bintuni (Steinkool dan Babo) untuk bekerja di Maskapai pemboran minyak bumi dan lapangan terbang di Babo. Mereka bekerja mendapatkan uang, dan uang itu dibelikan barang-barang logam (parang, tombak, pisau), alat-alat masak, dan kain-kain tekstil dalam berbagai jenis untuk pembayaran harta mas kawin dan transaksi tukar-menukar kain timur.

 Puncaknya terjadi pada tahun 1970-1975, ketika dibukanya lapangan kerja baru berupa Maskapai Petromer Trent dengan kegiatan survey dan pemboran minyak bumi di Sele-Sorong,selanjutnya mendorong mobilitas penduduk Maybrat meninggalkan desa-desa mereka ke Kota Sorong, dan selanjutnya membuka kontak budaya mereka dengan kebudayaan luar.

Hasil yang diperoleh dari  proses akulturasi ini, ialah menyebabkan terjadi berbagai modifikasi wujud dan gagasan budaya yang dikembangkan, tanpa menghilangkan orientasi nilai-nilai budaya mereka yang lama. Patokan yang menjadi model dari modifikasi nilai dan wujud budaya luar (asing) itu, didasarkan pada orientasi pengetahuan kebudayaan asal. Aspek konkrit yang dapat diamati dalam kehidupan orang Maybrat, ialah dari aspek kebudayaan materi berupa barang logam, kain timur yang disebut bo sebagai alat bayar yang syah, maupun model-model perhitungan nilai-nilai kain tersebut dalam soal pembayaran harta mas kawin dengan transaksi mata uang rupiah.





1.      Interkoneksi Masyarakat kepala Burung dalam lingkup wilayah Budaya Doberai sebagai implikasi dari budaya transaksi kain timor dan perdagangan budak.



Kelompok suku di wilayah kepala Burung yang termasuk dalam wilayah Budaya Doberai dengan orientasi budaya pada transaksi tukar – menukar kain timur adalah Suku Arfak ( Hatam, Meyahk, Moile, dan Sougb), Suku Madik, Suku Karon/Meyah, Suku  Meybrat, danSukuTehit.

Kelompok etnis tersebut di atas, melakukan perdagangan tradisional kain timur antar klen, gabungan klen, atau etnis. Berdagang tidak hanya tukar – menukar barang – barang yang sangat diperlukan dengan benda – benda yang mempunyai ukuran nilai tertentu, seperti perhiasan dan manik – manik, tetapi juga didorong oleh keinginan untuk memperbesar rasa solidaritas antar orang – orang yang saling bertukar – tukaran, atau keinginan kedua belah pihak untuk menaik kan gengsi dengan memberikan benda – benda yang lebih berharga daripada yang diterimanya, (Sanggenafa danKoentjaraningrat, 1993:156).
Fenomena pertukaran benda - benda berharga, seperti kain timur dan manik - manik serta benda - benda logam lainnya telah terjadi jauh sebelum terjadinya persbaran agama kristen. Pertukaran kain timur antar inividu dan kelompok terjadi berdasarkan suatu kesepakatan tertentu, seperti kesepakatan waktu pengembalian dan besarnya bunga yang harus ditanggung oleh debitur.Secara tradisional suku - suku di wilayah Kepala Burung Papua mengenal sistem investa jangka pendek. Mereka juga memberlakukan sangsi sangat tegas bagi debitur sehingga orang yang hendak melakukan aktivitas ini haruslah siap secara materi dan juga psikis. Seorang debitur harus mengingat waktu pengembaliannya, karena jika tidak mengembalikan tepat waktu sangsinya adalah menerima secara suka rela perlakukan kreditur kepadanya.

Seperti pada sistem perbankan modern dewasa ini perjanjian dengan debitur diatur sesuai aturan - aturan perbankan itu sendiri. Jika tidak dilunasi akan ditindak tegas sesuai aturan yang berlaku. Demikian pula halnya pada masyarakat tradisional di Kepala burung. Debitur yang tidak dapat menyelesaikan utang kain timur dikenakan sangsi tegas. Salah satu sangsi yang diberikan adalah mengambil salah seorang anak debitur sebagai budak atau orang Meybrat menyebutnya awe. Budak ini ada yang tetap bekerja kepada kreditur sebagai majikannya, tetapi adapula yang kemudian diberikan kreditur kepada relasi bisnis kain timurnya yang lain. 
Fenomena perdagangan kain timur dan budak ini mengakibatkan sehingga pada saat ini dapat ditemukan perempuan dan laki - laki Meybrat yang dahulu dijadikan budak ke wilayah Arfak telah menggunakan marga orang Arfak dan melakukan perkawinan dan melahirkan beberapa keturunan baru yang mendiami daerah arfak. Adapula budak yang dijual kepada kepala suku di wilayah doreri, salah satu diantara mereka adalah seorang gadis yang dibaptis dua Pendeta Zending pertama  ottow dan Geissler dengan nama Diana sebagai orang Papua pertama yang menerima kristus atau sebagai kristen.
Setelah masuknya agama Kristen di wilayah Meybrat, para pendeta dan pastor melarang masyarakat untuk melakukan aktivitas ini. Para Pendeta dan Pastor mengambil  anak -anak kemudian   dimasukan ke asrama - asrama. Anak - anak dipisahkan dari orang tua agar tidak menjadi korban perdagangan kain timur dan budak. Anak - anak diperkenalkan dengan sistem pendidikan formal berbasis asrama. Banyak di antara mereka berhasil menjadi guru,polisi, tentara dan mantri/perawat. Adapula yang berhasil dan menduduki jabatan penting dalam birokrasi pemerintahan dan legislatif.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Natal Momen Paling Bahagia Bagi Orang Papua . By.. Monica Nauw

 Natal atau kehiran Yesus adalah momen bahagia bagi semua umat Kristen di dunia dan khusus umat Kristen di Papua.  Pulau Papua yang merupaka...