Kamis, 23 Maret 2017

Hewan Babi dan Kehormatan Lelaki : Pemanfaatan hewan Babi dalam politik pada Laki - laki di Wilayah Pegunungan Tengah Papua.

Oleh Monica M. Nauw


Artikel ini membahas tentang dinamika kepemilikan ternak babi dan implikasinya bagi ideologi kekuasaan politik laki - laki di Daerah Pegunungan Tengah Provinsi Papua. Pemnafaatan hewan babi dalam jumlah besar merupakan sumber kekayaan dan gengsi bagi seorang lelaki. Sehingga hewan  babi secara tradisi dan ekonomi memiliki nilai tawar yang tinggi.

 

Pendahuluan 

Papua merupakan salah satu pulau di Indonesia yang memiliki kebhinekaan etnik dan budaya serta kekayaan alam yang melimpah. Kebhinekaan budaya tampak pada benda - benda material sebagai hasil karya manusia yang digunakan untuk menunjang kelangsungan hidup, selain itu untuk menjaga keselarasan hidup  antara sesama manusia, juga diciptakan kebudayaan non material berupa adat - istiadat yang termanivestasi dalam norma - norma, aturan - aturan dan kaidah - kaidah yang digunakan sebagai alat kontrol sosial dalam kehidupan mereka.
Budaya material atau kebendaan maupun adat - istiadat antar etnik di Papua berbeda - beda. Orang Papua umumnya menciptakan kebudayaan sesuai dengan lingkungan di mana mereka berada. Perbedaan manivesta budaya juga disebabkan oleh perbedaan pengetahuan dan teknologi, (Kentjaranigrat, 1990). Perbedaan ini tampak dalam istilah yang lazim digunakan di Papua, yakni budaya orang gunung dan budaya orang pantai.

Norma atau aturan - aturan tradisional yang diberlakukan dalam kehidupan masyarakat Papua bukan hanya dibuat untuk mengatur hubungan antar manusia dengan manusia saja, tetapi juga dibuat untuk mengatur hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitar tempat tinggalnya, termasuk di dalamnya lingkungan alam flora dan Fauna. Bahkan terdapat juga aturan - aturan adat yang mengatur tentang konservasi tradisonal terhadap daerah pemali (sakral)  karena memiliki hubungan dengan mithos - mithos tertentu dalam tradisi mereka. Juga melindungi flora dan fauna yang disakralkan karena memiliki hubungan dengan asal - usul keret/ fam (totemisme)  atau flora dan fauna yang memiliki nilai budaya tinggi.

Relasi Hewan dan Manusia dalam budaya tradisonal.

Dalam  hampir sebagian kebudayaan di dunia terdapat budaya yang mengatur relasi antar manusia dengan hewan. Tradisi ini bukan saja terdapat pada budaya masyarakat Papua, tetapi juga pada budaya masyarakat Ero- Amerika, Asia, Afrika dan Australia. Seperti dalam kebudayaan Yunani Kuno, dimana burung elang adalah simbol kejayaan, Gajah menjadi lambang kebijaksanaan, dan singa menjadi lambang peperangan, sehingga hewan - hewan ini memiliki nilai budaya tinggi dalam kebudayaan itu ( Koentjanigrat, 1987:7). 


Begitu pula dalam budaya orang Aceh di Pulau Sumatera, hewan sapi memiliki nilai budaya tinggi karena, lelaki Aceh yang dapat membeli daging sapi meugang atau daging sapi yang berasal dari ternak sapi yang dipelihara secara khusus, untuk istrinya pada hari raya qurban (Idul Adha), maka lelaki tersebut mendapat kehormatan dari istri dan para kerabatnya dan dipandang sebagai lelaki yang mampu secara ekonomi, tetapi sebaliknya lelaki yang tidak dapat membelikan daging sapi meugang kepada istrinya dipandang rendah dalam masyarakat ( Kompas , 31 Maret 2013).

Relasi  antar hewan dan manusia terdapat juga hampir pada semua kebudayaan suku di Papua dan Papua New Guinea. Seperti yang terdapat dalam tulisan beberapa antropolog barat tentang relasi antar manusa dan ternak dalam tradisi setiap suku dengan menggunakan perspektif yang berbeda - beda. Misalnya, Roy A. Rappaport pada Suku Tsembaga dan suku Maring  di Papua New Guinea, yang termuat dalam bukunya berjudul " Pigss For The Ancestor".  Dengan menggunakan analisis Fungsional  dan ekologi budaya melakukan pengkajian tentang pemanfaatan ternak babi dalam upacara ritual pemujaan arwah nenek moyang dalam Kaitannya dengan pemanfaatan tanah pertanian. Ternak dan babi dan hasil pertanian digunakan untuk memohon pertolongan arwah nenek moyang dalam aktifitas pertanian dan juga dalam masa perang. 

Studi lain tentang hubungan hewan dan manusia juga dilakukan oleh Mervin Harris di mana termuat dalam bukunya yang berjudul"cow, pigs, Wars dan Witches. Studi ini dilakukan secara komparatif dengan menggunakan perspektif antropologi dan agama, Haris melakukan studi pada empat suku bangsa di dunia, yakni suku bangsa India Amerika, suku bangsa India, Suku Yahudi dan Suku Stembaga di Papua New Guinea. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pandangan tenetang hewan pada keempat suku bangsa tersebut.

Pada suku India sebagai pemeluk agama Hindu, ternak sapi dipandang sebagai hewan suci sehingga terdapat larangan untuk mengonsumsi hewan ini. Begitu pula hewan babi dipandang haram oleh orang Muslim Yahudi sehigga melarang konsumsi daging babi. Sebaliknya pada suku - suku bangsa di Papua dan Papua New Guinea, hewan  babi memiliki nilai budaya dan digunakan sebagai simbol kekayaan dan kekuasaanbagi kaum lelaki. Hewan babi digunakan dalam politik tradisional sebagai simbol kekayaan dan kekuasaan,( Haris, 1974: 35-38).

Penelitian lain tentang pentingnya hewan babi budaya masyarakat Papua adalah kajian J.W.Schoorl pada tulisannya tentang etnografi orang Muyu di Merauke Papua. Menurutnya dalam perdagangan tradisonal suku Muyu hewan babi memiliki nilai budaya tinggi sehingga berfungsi sebagai salah satu alat tukar dalam kehidupan masyarakat Muyu tradisional. Dengan demikian babi dapat ditukarkan dengan benda lain yang memiliki nilai dalam masyarakat, eperti kulit kerang (Schoorl, 1997: 139- 142)

Pada masyarakat di wilayah Budaya Pegunungan Tengah Papua, secara tradisional ternak babi memiliki nilai dan fungsi, sehingga dimanfaatkan dalam berbagai aktifitas kebudayaan, seperti  dalam upara ritual pembayaran mas kawin, upacara ritual kematian serta dalam aktifitas ekonomi dan politik. Karena memiliki nilai budaya tinggi, tampak adanya perlakukan khusus yang mana umumnya dilakukan untuk manusia juga dilakukan terhadap hewan babi, seperti anak babi yang telah kehilangan induknya diberi ASI oleh seorang perempuan.

Hewan Babi dalam Budaya Politik Lelaki Pegunungan Tengah

Masyarakat suku di wilayah Budaya Pegunungan Tengah, hewan babi memiliki nilai budaya, eknomi dan politik tinggi. Secara tradisional seorang lelaki yang hendak menduduki status sosial nagawan dan Tonowi wajib memiliki ternak babi dalam jumlah banyak dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan. Selain itu terdapat juga beberapa pra syarat lain yang harus dipenuhinya,  sehingga dapat disebut sebagai Nagawan dan Tonowi  atau pria berwibawa (Mansoben, 1985).

 Gambar Proses Bakar Batu pada Pesta Babi

Fenomena menarik dalam pemanfaatan hewan babi pada saat ini adalah pemanfaatan ternak babi sebagai alat kekeuasaan politik.  Dalam aktivitas politik praktis oleh para elit politik lokal pemanfaatan hewan babi dalam kampanye - kampanye politik berkaitan dengan pencalonan seorang lelaki dalam PEMILU  calon anggota Legislatif dan pencalonan Kepala Daerah (eksekutif). 

Para elit politik lokal di daerah ini biasanya menarik simpati rakyat dengan melakukan pesta babi atau pesta bakar batu. Dalam pesta ini biasanya makanan, seperti daging babi, ubi-ubian dan sayuran dipanggang di atas bara batu panas, kemudian ditutup dengan daun hingga tidak boleh ada asap yang keluar hingga makanan matang. Kemudian makanan itu dihidangkan kepada semua tamu yang hadir untuk disantap bersama. Jamuan kasih dalam pesta babi ini memiliki multi fungsi, yakni (1). mempererat silaturahmi antar keret atau suku; (2) mengetahui jumlah kekuatan massa pendukung bakal calon, dan (3) sebagai simbol dukungan politik dari berbagai kalangan masyarakat kepada bakal calon politikus itu.
 

Penyelenggaraan pesta babi di wilayah Pegunungan Tengah merupakan suatu fenomena menarik karena dalam fenomena ini tampak dengan kelas terjadinya proses integrasi antar dua budaya politik yang berbeda, yakni budaya politik tradisional (big man/ pria berwibawa), dan politik modern.

Proses pengintegrasian ini itu tampak pada kemampuan seorang kandidat dalam menyediakan ternak babi dalam jumlah besar untuk disembelih. Pada masa lalu seorang pemimpin tradisional berperan juga sebagai peternak, sebaliknya pada saat ini seorang kandidat Legislatif dan kandidat eksekutif tidak lagi berperan sebagai peternak. Melainkan dengan mengandalkan kemampuan finansialnya membeli ternak babi dalam jumlah besar untuk disembelih dan dikonsumsi dalam pesta babi. 

Pola pemanfaatam hewan babi, dalam PEMILU Legislatif dan PEMILUKADA di daerah pegunungan tengah saat ini memunculkan melahirkan fenomena baru di mana orang tidak hanya menggunakan cara membagi - bagi uang   (money Politic) secara langsung kepada para pemilih, namun dengan menggunakan pola kemasan budaya tradisional untuk menarik simpati para pemilih. Pola ini menghindarkan para Kandidat dari jeratan hukum dan money politic.

Masyarakat pegunungan tengah memandang bahwa lelaki yang mampu menyelenggarakan pesta babi, lelaki itu mampu secara ekonomi. Dalam penyelenggaraan pesta babi ini pula kehormatan seorang lelaki dipertaruhkan. Sehingga Pesta babi dapat dilakukan lebih dari satu kali sesuai dengan kempuan ekonomi kandidat.

Fenomena ini sebenarnya tidak saja menarik buat seorang antropolog, tetapi juga harus menarik perhatian pihak PEMDA  Kabupaten - kabupaten di wilayah pegunungan tengah agar memalui instansi terkait, yakni dinas peternakan melakukan intensifikasi dalam bidang ternak babi terutama memperkenalkan model, pola dan teknik beternak terutama pencegahan penyakit agar peternak babi tradisional dapat meningkatkan produktifitasnya, dengan begitu kesejahteraan masyarakat  dalam ekonomi meningkat pula.

   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Natal Momen Paling Bahagia Bagi Orang Papua . By.. Monica Nauw

 Natal atau kehiran Yesus adalah momen bahagia bagi semua umat Kristen di dunia dan khusus umat Kristen di Papua.  Pulau Papua yang merupaka...