Rabu, 14 Desember 2022

Natal Momen Paling Bahagia Bagi Orang Papua . By.. Monica Nauw

 Natal atau kehiran Yesus adalah momen bahagia bagi semua umat Kristen di dunia dan khusus umat Kristen di Papua. 

Pulau Papua yang merupakan pulau terbesar nomor dua di dunia setelah Green Land. Penduduk Papua mayoritas beragama Kristen. Sejak masa pemerintah Belanda, pulau dibagi menjadi dua wilayah persebaran agama, yaitu bagian Utara adalah wilayah zending atau Kristen Protestan dan wilayah Selatan termasuk wilayah misi atau Kristen Katolik. Namun dalam perkembangan dengan adanya kekurangan tenaga atau petugas gereja akhirnya ada daerah di Utara maupun selatan dilayani pihak zending maupun Misi.

Pengaruh penyebaran agama menyebabkan terjadinya transformasi budaya yang sangat besar dalam kehidupan orang Papua. Berbagai ritual yang dilakukan diganti dengan ritual gerejani, seperti Natal dan Paskah.

Natal adalah momen paling bahagia dalam kehidupan orang Papua. Kehadiran Natal ditandai dengan bunyi - bunyian, seperti bunyi petasan dan bunyi dentuman meriam buatan kreasi anak - anak. Ketika bunyi - bunyian terdengar, menjadi sebuah tanda bahwa telah memasuki bulan Desember. Bulan yang dinantikan orang Papua dengan penuh sukacita.

Tanda - tanda lain yang tampak sebelum Natal adalah dipajang pohon Natal dan pernak-pernik Natal di kantor - kantor pemerintah dan swasta. Warga kota menghias kota dengan cara membersihkan rumah, mengecat, dan menghias rumah dan halamannya dengan ornamen serta pernak-pernik Natal dengan diiringi irama melodi Natal, membuat suasana menyambut Natal semakin semarak. Toko - toko dan pedagang kaki lima menjual pohon Natal serta berbagai pernak-perniknya. Toko - toko, pasar  dan kaki lima dipenuhi warga kota, berbelanja pakaian dan berbagai kebutuhan menyambut Natal. Mereka semua berusaha mendapat perlengkapan Natal yang terbaik.

Para pengusaha dan pedang menjual dan menawarkan berbagai produk terkait dengan Natal. Para pedagang makanan telah menyiapkan aneka kue kering dan minuman serta menyiapkan bahan makanan dan sayur - sayur yang dipasok dari daerah lain, terutama wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. 

Pada momen Natal, para pengusaha dan pedagang memperoleh surplus dari harga jual produk yang ditawarkan di pasar. Pada momen Natal terlihat orang Papua sebagai kelompok konsumtif. Banyak uang dihabiskan untuk momen paling bahagia ini.Seminggu sebelum Natal semua kebutuhan telah disediain. 

Dibalik hiruk pikuk dan gema melodi natal yang merdu menyambut natal, momen yang paling bahagia ini, tampak perbedaan kelas sosial. Kelas atas yang termasuk di dalamnya elit lokal, pejabat pemerintah dan pengusaha. Kelas menengah pegawai negeri dan pedagang. Kelas ekonomi bawah adalah masyarakat kebanyakan yang berasal dari kelompok buruh dan petani subsisten. 

Dari ketiga kelas sosial ini, kelas sosial  bawah yang mengalami kesulitan dalam memenuhi keinginan untuk merayakan Natal. Mereka ingin merayakan Natal dengan penuh suka cita, namun keterbatasan dana membuat mereka harus berusaha ekstra untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarganya menyambut natal.

Saya punya satu cerita tentang kisah nyata, bagaimana seorang mama berusaha menjual hasil kebun untuk dapat merayakan Natal bersama keluarganya. 

Empat tahun lalu, tepatnya jam 16.00 Sore, saya ke pasar membeli bumbu yang lupa dibeli pada pagi hari. Saya beli setumpuk rica (cabe) pada seorang mama. Saya melihat jam telah menunjukkan pukul 16.30, lalu bertanya kepada mama itu:.mama tinggal di mana?.  kemudian mama itu menjawab saya tinggal di salah satu kampung  dipinggiran kota kami. Sambi menunggu rica (cabe) dimasukkan dalam plastik kresek yang selalu disediakan untuk mengisi barang jualan ketika dibeli oleh para pembeli. Saya pun bercerita dengan mama tersebut. ,

Sebentar lagi sudah malam Kudus eh, mama itu menanggapi dan berkata iyo anak. Mama dari kemarin siap barang jualan , upaya ada uang sedikit untuk beli daging babi atau ayam untuk masak dan makan habis ibadah di gereja. Setelah menghitung jumlah uang yang diperoleh cukup untuk membeli bahan makanan, mama itupun mengemasi sisa jualannya lalu pergi. 

Cerita di atas,  adalah sepenggal, mama harap cerita tentang bagaimana orang Papua memaknai Natal sebagai momen sukacita atau paling bahagia dalam hidup. Satu hal penting yang menurut saya dan perlu menjadi perhatian para pembuat kebijakan, yakni perlu dibuat program bantuan sosial pada momen Natal untuk membantu keluarga prasejahtera, janda dan anak Yatim serta para difabel, supaya merekapun  dapat merayakan Natal penuh sukacita.


Minggu, 04 Desember 2022

SAGU POHON KEHIDUPAN ORANG PAPUA. By. Monica Nauw.

 SAGU POHON KEHIDUPAN ORANG PAPUA DENGAN MULTI FUNGSI

Sagu adalah tanaman lokal khas Papua, sebagai tanaman penghasil Pati dari family arecaceae. Sagu dikonsumsi orang Papua sebagai makanan lokal. Sagu diolah dengan berbagai cara, antara lain dengan cara bakar, panggang, dan menggunakan air panas. 

Cara pengolahan Sagu bakar dilakukan dengan cara, sagu dibungkus dengan jenis sayur tertentu, seperti sayur gedi yang telah dibumbui garam lokal, kemudian dibungkus dengan kulit kayu lalu dikuburkan dalam tumpukan bara api, jika telah mengeluarkan bau harum, itu pertanda sagu telah masak dan siap disajikan untuk dikonsumsi bersama daging babi. Daging babi pun  diolah dengan cara yang sama. 

Mengolah sagu dengan cara bakar in,i merupakan cara mengolah  makanan pada  suku - suku Pedalaman wilayah Kepala Burung Papua yang termasuk wilayah budaya Domberai, sepert suku Meybrat.

 Cara kedua dalam mengolah sagu adalah dengan cara asar. Sagu asar dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama, sagu dicampur dengan kacang dan jenis sayuran tertentu lalu dibungkus dengan daun kemudian   diasar di atas bara api hingga masak dan disajikan dengan daging babi untuk disantap.

 Cara asar yang kedua dikenal dengan sagu forna.  Sagu forna membutuhkan proses  pengolahan  lebih rumit dan membutuhkan waktu serta kesabaran. Sagu yang hendak diolah, terlebih dahulu diayak dan dijemur. Untuk menjemur membutuhkan panas matahari yang cukup agar sagu benar kering, kemudian sagu dimasukkan dalam forna.  Forna adalah alat atau wadah yang terbuat dari tanah liat. Sebelum sagu diolah, alat tersebut dipanaskan terlebih dahulu,  lalu diasar atau dipanggang  di atas bara api.  Forna berbentuk persegi panjang yang di dalamnya dibuat sekat - sekat, sagu dimasukkan pada setiap sekat, kemudian di asar atau dipanggang, sagu telah matang  berbentuk persegi panjang. Sagu forna dapat bertahan lama. Sagu forna biasanya menjadi makan pagi atau sarapan.

Cara ketiga adalah pengolahan makanan yang dikenal dengan nama papeda. Pengolahan papeda dilakukan dengan cara,  sagu dimasukan dalam wadah kemudian diberi sedikit air dingin dan perasan jeruk dan disaring untuk membersihkan dari kotoran setelah itu dituangi dengan air panas medidih sambil diaduk hingga menjadi adonan atau dikenal dengan papeda. Papeda dimakan dengan menggunakan ikan kuah kuning. Papeda dikonsumsi oleh semua suku di Papua, terutama suku - suku yang wilayah ekologinya ditumbuhi tanaman sagu.

 Tiap suku menggunakan peralatan konsumsi berbeda - beda, seperti suku Sentani, air dimasak dalam wadah tanah liat dan dimasak hingga mendidih kemudian digunakan untuk membuat papeda. Begitu pula  untuk memasak ikan. Setelah ikan dibersihkan, dimasukan dalam air yang telah didihkan lalu dimasukkan bumbu dan kemudian dimasak  dalam wadah tanah lia hingga matang dan siap untuk disajikan. Pada saat ini olahan telah mengami perubahan, bentuk menu dan cara pengolahannya.

Cara pengolahan sagu lainnya yang dikenal dengan sebutan papeda bungkus. Cara pengolahan papeda  dibungkus dengan daun, Papeda setelah dibungkus akan  dibiarkan semalam kemudian dimakan pada keesokan harinya. Papeda bungkus adalah makanan tradisional suku - suku di wilayah budaya Tabi atau Dofonsoro, atau wilayah kota dan kabupaten Jayapura seperti suku Sentani, Tabla, Abrab dan lainnya.

    Tanaman atau tumbuhan sagu, menurut Ruddle at.al, ada 8 (delapan) jenis sagu yang tersebar di berbagai belahan penjuru bumi ini, yaitu arecastrum, arenga, caryota, corypha, eugeissona, mauritia, metroxylon dan roystonea. Genus sagu yang banyak terdapat di Irian jaya adalah genus metroxylon( Ruddle dalam Mansoben,1990). 

Tanaman sagu dari Genus metroxylon tumbuh diberbagai daerah di Papua pada tiga zona ekologi dari empat zona ekologi dan ekosistem berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh Walker dan Shoemaker (Muller, 2000), yaitu zona ekologi dan ekosistem pantai, rawa dan muara sungai zona ekologi dan ekosistem pantai dan zona ekologi dan ekosistem kaki - kaki gunung dan lembah - lembah kecil.

  Suku - suku asli Papua yang bermukim di dalam zona ekologi dan ekosistem tersebut memiliki kearifan tentang tanaman sagu, seperti suku - suku di kabupaten Waropen, suku Kokoda di Sorong Selatan, Suku Wamesa di kabupaten Teluk Wondama, Suku Sentani dan suku Tabla di kabupaten Jayapura , suku Abrab di kabupaten Keerom . suku Kamoro di kabupaten Mimika, suku Asmat, suku Kimaam dan suku Marind Anim serta Koroway di Kabupaten Merauke.

     Orang Papua dalam tiap tradisi memiliki kearifan lokal dalam klasifikasi sagu. Cara pembedaannya, berdasarkan jenis sagu berduri dan tidak berduri. Pembedaan juga berdasarkan isi dan bentuk Pati sagu. Orang Sentani adalah salah satu suku yang memiliki kearifan tentang sagu. Suku ini mendiami pinggiran danau Sentani di wilayah administrasi Kabupaten Jayapura. Mereka memiliki hubungan geneologis dengan suku - suku yang mendiami wilayah pesisir teluk Youtefa, seperti orang Tobati, Enggros dan Nafri. Persamaan diantara tampak dalam ciri - ciri fisik, Struktur sosial dan persamaan istilah tertentu dalam bahasa.

      Suku Sentani mengklasikan sagu ke dalam dua jenis yaitu sagu berduri dan sagu licin atau tidak berduri. Sagu berduri memiliki kandungan Pati lebih banyak dibandingkan sagu licin, namun mereka cenderung mengkonsumsi sagu licin karena rasanya lebih enak.

       Orang Sentani membedakan Sagu licin ke dalam 9 (sembilan) jenis berdasarkan daun, isi Pati, batang dan durinya, sebagai berikut: Rando, para, yepah, follo, monggon, ruruna, yakhalope, manno dan panne ( Monica Nauw, 2019). Sagu jenis yepah biasanya disediakan untuk dikonsumsi dalam acara adat, sedangkan sagu jenis pane memiliki kualitas kurang baik, sehingga biasa sagu jenis ini ditebang untuk menghasilkan jamur sagu dan juga dijadikan perangkap untuk menjerat babi hutan.

        Kearifan ekologi sagu orang Papua umumnya, dan khususnya orang Sentani perlahan- lahan hilang. Proses enkulturasi pengetahuan alam flora dari generasi ke generasi tidak dapat dilakukan lagi dengan hilangnya beribu pohon sagu. Padahal menurut menurut Profesor Herman Yohanes ahli bahan bakar non konvensional mengatakan hutan sagu di Irian jaya saja, dapat memberi makan 535 juta anak cucu Adam dan Hawa ( Herman Yohanes dalam George Yunus Aditjondro, 2003).

         Orang Papua selain memanfaatkan  sagu sebagai bahan makanan, juga memanfaatkan bagian lainnya dari pohon sagu, seperti daun sagu untuk membuat atap rumah dan wadah untuk menaruh, pelepah sagu untuk dibuat wadah untuk menaruh, batang sagu untuk membuat lantai ruah dan jembatan, lidi sagu untuk membuat sapu serta getah pada pelepah dan pati sagu digunakan untuk mengobati penyakit, seperti cacar air.

         Hilangnya pohon sagu di Papua terjadi dengan sengaja karena adanya pendapat bahwa manusia Indonesia lebih baik mengkonsumsi nasi dari bulir - bulir padi dari pada sagu. Hal tersebut nampak dengan ditebang beribu hektar hutan sagu untuk menanam padi dan hutan sagu dibabat untuk pembangunan infrastruktur jalan raya.  Tindakan tersebut menunjukan bahw tanaman sagu adalah tanaman kelas dua dibanding tanaman padi. Padahal sagu memiliki kandungan karbohidrat yang sama dengan padi, malah sagu mempunyai keunggulan menimalisir kadar gula dalam tubuh manusia. Dengan demikian sagu di Papua perlu dikonservasi untuk menjandi sumber pangan lokal guna menjaga ketahanan pangan Nasional. 


        

      

Kamis, 01 Desember 2022

Papua Bak Negeri Alladin

 Papua Pulau paling timur dari semua pulau di Indonesia ini, ibarat negeri Aladin. Si Aladin adalah tokoh dongeng Aladin dan Lampu Ajaib dalam cerita 1001 malam. Dongeng ini adalah cerita dari Persia yang ditulis oleh  Manirot Suriah dan dipopulerkan oleh Antoine Galland penulis ASal Prancis.

Aladin adalah seorang anak Yatim yang tinggal bersama ibunya dengan seekor monyet piaraanya. Suatu ketika Dewi Fortuna mendatang keberuntungan bagi dengan ditemukannya lampu ajaib. Lampu ini dijaganya dengan sangat baik karena dapat menjawab semua permintaan Alladih hanya dengan menggosokkan lampu itu dan berkata Abra ka dabra, make semua terjadi sesuai keinginannya.

Kehidupan orang Papua dan berbagai fenomena yang terjadi ibarat lonceng ajaib yang dimiliki oleh Alladin. Segala sesuatu yang tidak mungkin terjadi dapat terjadi sesuai keinginan Alladin.

Semua fenomena sosial budaya, ekologi, ekonomi dan politik terjadi Serta berubah  dengan begitu cepat sesuai keinginan penguasa ibarat  Aladin si pemilik lampu  ajaib.

Perubahan - perubahan dalam berbagai sendi kehidupan orang asli Papua terjadi dengan cepat, menimbulkan dampak bagi masyarakat lokal ( OAP). Protes hingga penolakan, namun perubahan  yang tidak dikehendaki itu tetap terjadi sesuai keinginan para pengusaha. 

Perubahan yang tidak dikehendaki masyarakat adat Papua, namun tetap terjadi sesuai keinginan Aldin  pemilik lampu ajaib,

 Perubahan pola pertanian subsisten menjadi pertanian mono kultur dengan orientasi pasar atau perkebunan kelapa sawit. Perubahan ini tidak dikehendaki dan  ditolak oleh masyarakat adat Papua ( Kasus Suku Awyu dan suku MOI) . Penolakan terjadi karena masyarakat melihat kerusakan lingkungan dalam wilayah Ulayat mereka, dengan ditandai dengan hilangnya tempat berburu dan meramu, lahan berkebun, tempat meramu tanaman obat, daerah pamali (sakral) dan hilangnya kearifan ekologi yang dimiliki. Penolakan hingga perlawanan dilakukan oleh masyarakat adat namun tidak mampu menyentuh hati Alladin atau para penguasa.

 kerusakan lingkungan terus terjadi walaupun protes terus dilakukan masyarakat tetapi tidak dapat menyentuh hati si Aladin. Fenomena perubahan lingkungan terjadi sesuai keinginan Alladin sambil menggosok lampu ajaibnya dan berkata Abra ka dabra, maka terjadi yang dikendakinya. Dengan demikian slogan "Papua bukan Tanah Kosong" tidak bermakna bagi Alladin.

Perubahan terus terjadi dari sepanjang waktu. Perubahan sangat besarpun terjadi  dengan dilakukannya pemekaran Papua menjadi 6(enam) Propinsi. Pemekaran daerah menurut orang bijak harus dipertimbangkan dengan baik.  Terdapat beberapa persyaratan terbentuknya DOB tetapi untuk Papua diperlakukan berbeda dengan wilayah lain, seperti jumlah penduduk yang sangat sedikit, dapat dilihat dari jumlah penduduk setiap kabupaten dan distrik  pemekaran .

Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik tahun 2022, Propinsi Papua dan Papua Barat termasuk rangking terendah dengan kategori daerah termiskin di Indonesia. Papua dengan kategori daerah miskin seharusnya dapat menyentuh hati Aladin untuk tidak menggosok lampu ajaibnya dan berkata Abra ka dabra dan terjadi sesuai kehendak pemekaran DOB di Papua. Padahal orang tua kami yang tinggal di dusun saja tahu kondisi kritis ekonomi yang akan terjadi tahun depan. Kitong harus bikin kebun tanam dan tokok sagu supaya tidak kelaparan.

Perubahan yang diharapkan membawa kesejahteraan tetapi dapat terjadi sebaliknya seperti pendapat Dr. Agus Sumule seorang akademisi Universitas Papua (2022) "Masyarakat Papua sedang dibawa masuk ke  dalam lorong kegelapan". 

Fenomena - fenomena sosial budaya, ekologi, ekonomi dan politik serta keamanan yang terjadi hendak dilakukan ditanggapi secara bijak oleh semua orang asli Papua (OAP) untuk kepentingan masyarakat dengan berani menolak, jika perubahan itu belum saatnya terjadi.  



Selasa, 01 Agustus 2017

Alkoholisme Papua sebuah Manivestasi Anti Struktur.

Orang Papua di kenal dan mendapat stigma "pemabuk". Stigma ini memang tidak dapat dipungkiri karena orang Papua, khususnya para lelaki suka mabuk, walupun demikian ada pula lelaki Papua yang tidak mengkonsumsi minuman beralkohol. Mengapa orang Papua suka mabuk?. Berikut ini kita akan mengungkapkan beberapa fakta yang dapat memberikan kita jawaban tentang kebiasaan mabuk ini.

Jika kita menoleh ke sejarah kehidupan sosial orang Papua pada masa Pemerintah Belanda di Papua, kita mendengar berbagai ceritera tentang masa "keemasan" orang Papua. Masa di mana orang Papua menjadi anak emas atau anak manja orang Belanda. Orang Papua yang hidup dalam jaman ini mengatakan bahwa " kitorang hidup di jaman Belanda semua kebutuhan hidup terpenuhi. Kitorang hidup aman dan damai. Kitorang tidak menderita seperti sekarang ini". Kalimat ini merupakan ungkapan perasaan orang Papua terutama mereka yang pernah menikmati kehidupan Jaman Belanda dan membuat perbedaan dengan realitas hidup yang dialami sekarang.

Kalimat tersebut sebenarnya berangkat dari pengalaman hidup yang dialami orang Papua. Ketika pada tanggal 1 Mei 1963, Papua berintegrasi dengan NKRI, orang Papua diperkenalkan dengan sistem pemerintahan Baru dan budaya yang baru pula. Letak geografis Pulau Papua yang sangat jauh menyebabkan daerah ini kurang mendapat perhatian dari Negara. Orang Papua mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Harta benda peninggalan Belandan di rampok dan di bawah pergi oleh oknum - uknum tidak bertanggung jawab. Ketidak puasan terhadap situasi yang terjadi menyebabkan sehingga terjadi pemberontakan OPM tanggal 28 Juli 1965 di Manokwari. Padahal baru tiga tahun masyarakat Papua berintegrasi dengan NKRI.

Setelah peristiwa itu berlalu, kehidupan orang Papua dalam rezim Orde Baru terus mengalami tindakan kekerasan, intimidasi, eksploitasi sumber daya alam dan perampasan tanah ulayat. Fenomena itu masih terus berlangsung hingga kini. Ketidak mampuan orang Papua dalam menghadapi tindakan - tindakan kekerasan terstruktur ini mengakibatkan mereka berada dalam situasi liminal. Salah satu jalan keluar untuk melakukan "protes sosial" adalah dengan mengkonsumsi minuman keras atau mabuk. Dalam kondisi mabuk inilah pelampiasan emosi yang terpendam, berbagai tindak kekerasan di lakukan.

Fenomena konsumsi minuman beralkohol yang awalnya sebagai bentuk perlawanan atau "protes sosial" terhadap struktur yang ada, lambat - laun menjadi bagian dari gaya hidup. Bahkan anak remaja dalam usia dini belajar mengkonsumsi alkohol sebagai media untuk bersosialisasi. Sehingga dikenal istilah "teman mabuk".

Para pelaku bisnis yang peka melihat peluang usaha pun memperlebar usahanya dengan mendistribusi penjualan minuman keras dalam berbagai jenis dengan harga yang bervariasi. Bahkan minuman oplosan pun ikut masuk dan diperdagangkan secara bebas. Dengan mengantongi ijin usaha/ perdagangan miras dari PEMDA membuat para pedagang semakin leluasa berdagang miras dengan meraup keuntungan sangat besar.

Dengan semakin maraknya perdagang miras legal dan ilegal mengakibatkan jumlah konsumsi terus meningkat. Kebiasaan ini terus berlanjut pada generasi muda Papua,khususnya kaum lelaki. Tanpa disadari konsumsi minuman beralkohol ini mengakibatkan kecanduan dan mengakibatkan kematian pada lelaki usia produktif 19 -45 tahun.

Kondisi ini tentunya tidak dapat diselesaikan dengan hanya membuat dan mengesyahkan pelaksanaan PERDA MIRAS tetapi juga PEMDA PAPUA perlu berupaya mendirikan pusat rehabilitasi bagi para pemabuk. PEMDA juga seyogyanya berupaya membuat program - program pembangunan yang dapat melibatkan generasi muda, terutama para lelaki, seperti pembangunan dalam bidang olah raga, seni dan budaya. Membuat event - event olah raga, seni dan budaya serta melibatkan mereka sehingga tidak ada waktu luang yang memberi ruang kepada mereka untuk bertindak menyimpang.

Jumat, 07 Juli 2017

PRODUK LOKAL PAPUA BUTUH PERLINDUNGAN HUKUM



Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah, kebhinekaan budaya dan bahasa. Kekayaan alam flora dan kekayaan alam fauna dengan keeksotisan tersendiri. Masyarakat asli Papuapun memiliki kearifan lokal dalam pengembangan flora dan fauna, khususnya tanaman pangan dan tanaman perkebunan.

Orang Dani memiliki kearifan lokal budi daya tanaman ubi yang terkenal di dunia (Muller, 2008) orang Dani dikenal sebagai petani tradisional yang mampu melakukan pertanian ubi jalar dengan metode teras sering. Mengklasifikasikan ubi jalar ke dalam beberapa jenis dan dikenal sebagai metode bercocok tanam tradisional yang rumit.

Orang Sentani mengkasifikasikan tanaman/buah  matoa ke dalam 12 (dua belas) jenis, yaitu: (1) khabelau, buah matoa ini berwarna kuning; (2) Igwa, buah matoa berwarna merah; (3) Anokhong, buah matoa berwarna hijau dengan bintik – bintik merah; (4) Phangga Hai, warna buah merah muda kekuning- kuningan; (5) Foowa, buah matoa berwarna hijau kekuning-kuningan  dan (6) Hingfale, warna kuning tua menyala; (7) Ponggouw, warna merah bintik – bintik; dan  (8) Rawkhobhow, buah matoa dengan warna kulit hijau kemerah- merahan; (9) Igwa Feemea, warna buah merah kehitaman; (10) khombu, warna buah warna merah tua memiliki kulit tipis dan Igwa (11). Hokholi, warna merah muda tetapi isinya tidak menutupi seluruh permukaan biji; dan (12) Khabelauw Yepha Raikele, warna kuning bintik – bintik hitam. (Nauw Monica, 2019).

Orang Karoon di Kepala Burung Papua dengan kearifan lokal membudidaya tanaman pisang serta mengklasifikasikan dalam beberapa Jenis. Orang - orang Papua di pesisir dan rawa  memiliki kearifan membudi daya tanaman pinang dan  sagu. Orang - orang Pedalaman dan pegunungan Papua memiliki pengetahuan budi daya tanaman buah merah.

Produk lokal yang sarat dengan nilai budaya dalam kehidupan orang asli Papua  ini lambat laun akan hilang dan tidak diakui sebagai produk asli Papua karena terdapat banyak produk imitasi di luar Papua.  Hak sebagai bagian dari kekayaan pengetahuan lokal (Ingenius knowlidge) akan hilang karena telah  diambil alih oleh orang luar.  Untuk itu produk lokal sebagai wujud kekayaan pengatahuan masyarakat lokal Papua perlu dilindungi oleh Peraturan Daerah (PERDA).  Dengan pengesahan dan pemberlakuan  PERDA tersebut dapat   melindungi hak - hak masyarakat Papua dalam mengelola produk lokal tersebut. Fenomena  ini jangan dipandang sepele, karena belakangan ini produk lokal Papua seperti Matoa dan Buah merah di jual di mal - mal dan supermarket di Pulau Jawa dengan mengklaim sebagai produk asal dari daerah tertentu di Jawa. 

Sewajarnya pemerintah daerah Papua belajar dari daerah lainnya, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memliki Peraturan Daerah tentang Salak Pondoh sebagai tanaman asli DIY sehingga, jika ada pihak - pihak tertentu yang ingin membudi dayanya harus melalui prosedur tertentu. Pemerintah Daerah Papua juga seyogyanya  membuat dan mengesahkan Peraturan Daerah yang melindungi produk lokal Papua mendapat perlindungan hukum serta  nilai - nilai kearifan lokal orang  Papua tentang budi daya tanaman pangan dihargai oleh orang lainnya. 

Papatah Banyak Anak Banyak Rejeki dalam Perspektif Orang Papua.

Pepatah kuno "banyak anak, banyak rejeki" pada saat ini dipandang tidak relevan lagi karena penduduk dunia semakin padat khususnya penduduk Indonesia. Namun sebaliknya pepatah ini masih tetap relevan bagi penduduk di bumi Cenderawasih. Mengapa demikian?. Populasi penduduk asli Papua setiap tahun berkurang disebabkan oleh penyakit HIV- AIDS dan kecanduan minuman beralkohol yang mengakibatkan kematian laki - laki usia produktif 19 - 45 Tahun. Fenomena ini jika terus dibiarkan, maka beberapa tahun mendatang nasib orang Papua seperti orang Indian America dan orang Aborigin di Australia.

Belakangan ini yang sedang trend di Papua yakni melahirkan dengan cara operasi caesar atau cesar. Fenomena ini terjadi pada perempuan - perempuan Papua dalam usia produktif 20 - 30 tahun. Alangkah bijaksana, jika tindakan medis ini digunakan untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayinya. Tetapi, sebaliknya sangat  ironi, jika tindakan ini dilakukan untuk membatasi jumlah penduduk di Pulau yang besar ini. Fenomena persalinan dengan cara cesar pada saat ini telah mengundang banyak interpretasi  di kalangan orang Papua khususnya kaum perempuan. Perempuan Papua yang secara fisik dan alami dapat melahirkan dengan baik bahkan jumlah anak relatif lebih dari 5 anak cenderung sehat. Mengapa beberapa tahun belakangan ini marak melahirkan dengan metode operasi cesar???.  Padahal, beberapa tahun lalu, ketika dunia medis di Papua belum berkembang seperti sekarang ini, mama - mama Papua dapat melahirkan anak relatif banyak (5 - 12 anak) dengan mengandalkan bantuan medis sederhana dan  pengetahuan kearifan lokal mereka.

Apakah tindakan cesar merupakan tindak lanjut dari program KB yang tidak berjalan efektif di Papua?. Apabila diamati  secara logika, Jumlah anak dalam program KB dan operasi Cesar sama jumlahnya, yaitu 3 anak. Semoga saja interpretasi perempuan Papua terhadap program operasi cesar terhadap perempuan Papua tidak tepat. Jika, orang Papua menolak mengikuti program KB dengan alasan logis" kitong pu tanah masih luas jadi anak harus banyak" Alasan ini sangat logis karena pulau Papua sangat luas. Orang Papua hidup dalam ikatan komunal sangat kuat. Anak menjadi milik keluarga besar (extended Family). Pemerintah seyogyanya mendukung pernyataan itu. Penulis mengapresiasi Gubernur Papua Lukas Enembe dan Bupati Kabupaten Lani Jaya yang memandang persoalan populasi penduduk asli Papua sebagai persoalan penting dan memberi perhatian khusus. Terutama memberikan jaminan sosial dan kesehatan kepada perempuan Papua yang dapat melahirkan banyak anak.

Sekiranya artikel ini dapat membuka mata dan hati  orang Papua, terutama para pembuat kebijakan pembangunan di Papua dan orang Papua asli yang berkecimpung dalam dunia medis, khususnya para dokter dan bidan agar dapat membantu perempuan Papua untuk melahirkan secara normal agar populasi orang asli Papua lebih dominan  bukan menjadi  minoritas di Tanahnya sendiri.

Minggu, 02 Juli 2017

Petani Papua dan Kelapa Sawit

Petani Papua dan Kelapa Sawit adalah dua budaya yang berbeda. Petani Papua memiliki tradisi bercocok tanam yang sangat berbeda dengan sistem pertanian modern. Fenomena ini nyata dalam keterlibatan petani Papua  dalam perkebunan kelapa sawit. Program pembangunan pertanian dengan intensifikasi tanaman kelapa sawit sebagai tanaman monokultur dengan orientasi pasar di Papua tidak tepat karena tidak sesuai dengan budaya pertanian masyarakat lokal.

Pada beberapa areal di mana Perkebunan Kelapa Sawit dibangun, seperti Arso, Prafi, Lereh, Klamono dan Mogoi  keterlibatan penduduk lokal sangat rendah. Kesejahteraan yang diimpikanpun tak kunjung datang. Hal ini terbukti dengan tidak terjadinya perubahan yang singnifikan dalam tingkat pendapatan dan kesejahteran Petani PIR Kepala sawit. Walaupun mereka telah kehilangan tanah ulayat, areal berburu, meramu dan tempat berladang. Dalam penelitian tesis S2  antropologi UGM  dengan topik" PETANI PAPUA DAN INOVASI PERTANIAN: Pengaruh Budaya Terhadap Pola Adopsi Teknologi PIR Kelapa Sawit pada Masyarakat Arfak di Manokwari (Nauw, 2007) mengungkapkan bahwa pengkajian dampak lingkungan dalam aspek sosial budaya kurang diperhatikan  pada saat  pembuatan dan pelaksanaan program pembangunan kelapa sawit di lingkungan masyarakat Papua umumnya dan secara khusus orang Arfak. Kekurang perhatian pada aspek sosial budaya tampak pada kasus keterlibatan petani Arfak dalam aktivitas sebagai petani PIR dan peningkatan kesejahteraan yang diharapkan.

Beberapa aspek budaya Arfak, seperti pola pertanian subsistem dengan sistem perladangan berpindah - pindah yang dikenal sejak nenek moyang tidak mudah ditinggalkan; pola tempat menetap bersama keluarga luas (extended family) diganti dengan bentuk pemukiman untuk keluarga inti, solidaritas antar kerabat sangat tinggi sehingga kecenderungan untuk meninggalkan areal transmigrasi lokal PIR kelapa sawit mengakibatkan terjadi sewa- menyewa lahan berbulan - bulan bahkan menjual lahan kepada orang luar; terdapat kepercayaan terhadap suangi (Black Magic) sebagai akibat budaya balas dendam dan menggunakan tenaga petani penyakap dengan sistem balas jasa.

Aspek - aspek budaya lokal umumnya kurang menjadi perhatian pemerintah pusat dan pemerintah Daerah dalam melaksanakan program pembangunan pertanian, khususnya kelapa sawit di Papua. Pemerintah hanya berpikir memperoleh income berupa pajak dari para investor dan memperkaya para investor yang adalah para kapitalis,  tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakat.  Padahal penduduk lokal telah kehilangan hak - haknya atas tanahnya. 

Pemerintah Daerah Kabupaten - kabupaten  di  Papua dan Papua Barat, seyogyanya lebih menunjukkan keberpihakkan kepada orang asli Papua. Bila perlu menolak berbagai program pembangunan yang semata - mata hanya mengeksploitasi sumber daya alam dan perampasan tanah ulayat masyarakat adat untuk kepentingan para kapitalis. Pemerintah seyogyanya melindungi masyarakat dan hak penguasaan Sumber daya alam serta berupaya,  menggandeng para stekholder khususnya para akademisi  untuk melakukan studi tentang pontensi daerah sehingga pemerintah daerah dapat mengembangkan potensi daerahnya sebagai pemasukan Pendapatan Asli Daerah ( PAD). Jangan mudah mengambil keputusan dan kebijakan pembangunan khususnya melepaskan berhektar - hektar tanah ulayat masyarakat Papua, yang pada akhirnya hanya "memarginalkan" dan "memiskinkan" orang Papua Sendiri.

Natal Momen Paling Bahagia Bagi Orang Papua . By.. Monica Nauw

 Natal atau kehiran Yesus adalah momen bahagia bagi semua umat Kristen di dunia dan khusus umat Kristen di Papua.  Pulau Papua yang merupaka...