Jumat, 07 Juli 2017

PRODUK LOKAL PAPUA BUTUH PERLINDUNGAN HUKUM



Papua merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah, kebhinekaan budaya dan bahasa. Kekayaan alam flora dan kekayaan alam fauna dengan keeksotisan tersendiri. Masyarakat asli Papuapun memiliki kearifan lokal dalam pengembangan flora dan fauna, khususnya tanaman pangan dan tanaman perkebunan.

Orang Dani memiliki kearifan lokal budi daya tanaman ubi yang terkenal di dunia (Muller, 2008) orang Dani dikenal sebagai petani tradisional yang mampu melakukan pertanian ubi jalar dengan metode teras sering. Mengklasifikasikan ubi jalar ke dalam beberapa jenis dan dikenal sebagai metode bercocok tanam tradisional yang rumit.

Orang Sentani mengkasifikasikan tanaman/buah  matoa ke dalam 12 (dua belas) jenis, yaitu: (1) khabelau, buah matoa ini berwarna kuning; (2) Igwa, buah matoa berwarna merah; (3) Anokhong, buah matoa berwarna hijau dengan bintik – bintik merah; (4) Phangga Hai, warna buah merah muda kekuning- kuningan; (5) Foowa, buah matoa berwarna hijau kekuning-kuningan  dan (6) Hingfale, warna kuning tua menyala; (7) Ponggouw, warna merah bintik – bintik; dan  (8) Rawkhobhow, buah matoa dengan warna kulit hijau kemerah- merahan; (9) Igwa Feemea, warna buah merah kehitaman; (10) khombu, warna buah warna merah tua memiliki kulit tipis dan Igwa (11). Hokholi, warna merah muda tetapi isinya tidak menutupi seluruh permukaan biji; dan (12) Khabelauw Yepha Raikele, warna kuning bintik – bintik hitam. (Nauw Monica, 2019).

Orang Karoon di Kepala Burung Papua dengan kearifan lokal membudidaya tanaman pisang serta mengklasifikasikan dalam beberapa Jenis. Orang - orang Papua di pesisir dan rawa  memiliki kearifan membudi daya tanaman pinang dan  sagu. Orang - orang Pedalaman dan pegunungan Papua memiliki pengetahuan budi daya tanaman buah merah.

Produk lokal yang sarat dengan nilai budaya dalam kehidupan orang asli Papua  ini lambat laun akan hilang dan tidak diakui sebagai produk asli Papua karena terdapat banyak produk imitasi di luar Papua.  Hak sebagai bagian dari kekayaan pengetahuan lokal (Ingenius knowlidge) akan hilang karena telah  diambil alih oleh orang luar.  Untuk itu produk lokal sebagai wujud kekayaan pengatahuan masyarakat lokal Papua perlu dilindungi oleh Peraturan Daerah (PERDA).  Dengan pengesahan dan pemberlakuan  PERDA tersebut dapat   melindungi hak - hak masyarakat Papua dalam mengelola produk lokal tersebut. Fenomena  ini jangan dipandang sepele, karena belakangan ini produk lokal Papua seperti Matoa dan Buah merah di jual di mal - mal dan supermarket di Pulau Jawa dengan mengklaim sebagai produk asal dari daerah tertentu di Jawa. 

Sewajarnya pemerintah daerah Papua belajar dari daerah lainnya, seperti Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah memliki Peraturan Daerah tentang Salak Pondoh sebagai tanaman asli DIY sehingga, jika ada pihak - pihak tertentu yang ingin membudi dayanya harus melalui prosedur tertentu. Pemerintah Daerah Papua juga seyogyanya  membuat dan mengesahkan Peraturan Daerah yang melindungi produk lokal Papua mendapat perlindungan hukum serta  nilai - nilai kearifan lokal orang  Papua tentang budi daya tanaman pangan dihargai oleh orang lainnya. 

Papatah Banyak Anak Banyak Rejeki dalam Perspektif Orang Papua.

Pepatah kuno "banyak anak, banyak rejeki" pada saat ini dipandang tidak relevan lagi karena penduduk dunia semakin padat khususnya penduduk Indonesia. Namun sebaliknya pepatah ini masih tetap relevan bagi penduduk di bumi Cenderawasih. Mengapa demikian?. Populasi penduduk asli Papua setiap tahun berkurang disebabkan oleh penyakit HIV- AIDS dan kecanduan minuman beralkohol yang mengakibatkan kematian laki - laki usia produktif 19 - 45 Tahun. Fenomena ini jika terus dibiarkan, maka beberapa tahun mendatang nasib orang Papua seperti orang Indian America dan orang Aborigin di Australia.

Belakangan ini yang sedang trend di Papua yakni melahirkan dengan cara operasi caesar atau cesar. Fenomena ini terjadi pada perempuan - perempuan Papua dalam usia produktif 20 - 30 tahun. Alangkah bijaksana, jika tindakan medis ini digunakan untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayinya. Tetapi, sebaliknya sangat  ironi, jika tindakan ini dilakukan untuk membatasi jumlah penduduk di Pulau yang besar ini. Fenomena persalinan dengan cara cesar pada saat ini telah mengundang banyak interpretasi  di kalangan orang Papua khususnya kaum perempuan. Perempuan Papua yang secara fisik dan alami dapat melahirkan dengan baik bahkan jumlah anak relatif lebih dari 5 anak cenderung sehat. Mengapa beberapa tahun belakangan ini marak melahirkan dengan metode operasi cesar???.  Padahal, beberapa tahun lalu, ketika dunia medis di Papua belum berkembang seperti sekarang ini, mama - mama Papua dapat melahirkan anak relatif banyak (5 - 12 anak) dengan mengandalkan bantuan medis sederhana dan  pengetahuan kearifan lokal mereka.

Apakah tindakan cesar merupakan tindak lanjut dari program KB yang tidak berjalan efektif di Papua?. Apabila diamati  secara logika, Jumlah anak dalam program KB dan operasi Cesar sama jumlahnya, yaitu 3 anak. Semoga saja interpretasi perempuan Papua terhadap program operasi cesar terhadap perempuan Papua tidak tepat. Jika, orang Papua menolak mengikuti program KB dengan alasan logis" kitong pu tanah masih luas jadi anak harus banyak" Alasan ini sangat logis karena pulau Papua sangat luas. Orang Papua hidup dalam ikatan komunal sangat kuat. Anak menjadi milik keluarga besar (extended Family). Pemerintah seyogyanya mendukung pernyataan itu. Penulis mengapresiasi Gubernur Papua Lukas Enembe dan Bupati Kabupaten Lani Jaya yang memandang persoalan populasi penduduk asli Papua sebagai persoalan penting dan memberi perhatian khusus. Terutama memberikan jaminan sosial dan kesehatan kepada perempuan Papua yang dapat melahirkan banyak anak.

Sekiranya artikel ini dapat membuka mata dan hati  orang Papua, terutama para pembuat kebijakan pembangunan di Papua dan orang Papua asli yang berkecimpung dalam dunia medis, khususnya para dokter dan bidan agar dapat membantu perempuan Papua untuk melahirkan secara normal agar populasi orang asli Papua lebih dominan  bukan menjadi  minoritas di Tanahnya sendiri.

Minggu, 02 Juli 2017

Petani Papua dan Kelapa Sawit

Petani Papua dan Kelapa Sawit adalah dua budaya yang berbeda. Petani Papua memiliki tradisi bercocok tanam yang sangat berbeda dengan sistem pertanian modern. Fenomena ini nyata dalam keterlibatan petani Papua  dalam perkebunan kelapa sawit. Program pembangunan pertanian dengan intensifikasi tanaman kelapa sawit sebagai tanaman monokultur dengan orientasi pasar di Papua tidak tepat karena tidak sesuai dengan budaya pertanian masyarakat lokal.

Pada beberapa areal di mana Perkebunan Kelapa Sawit dibangun, seperti Arso, Prafi, Lereh, Klamono dan Mogoi  keterlibatan penduduk lokal sangat rendah. Kesejahteraan yang diimpikanpun tak kunjung datang. Hal ini terbukti dengan tidak terjadinya perubahan yang singnifikan dalam tingkat pendapatan dan kesejahteran Petani PIR Kepala sawit. Walaupun mereka telah kehilangan tanah ulayat, areal berburu, meramu dan tempat berladang. Dalam penelitian tesis S2  antropologi UGM  dengan topik" PETANI PAPUA DAN INOVASI PERTANIAN: Pengaruh Budaya Terhadap Pola Adopsi Teknologi PIR Kelapa Sawit pada Masyarakat Arfak di Manokwari (Nauw, 2007) mengungkapkan bahwa pengkajian dampak lingkungan dalam aspek sosial budaya kurang diperhatikan  pada saat  pembuatan dan pelaksanaan program pembangunan kelapa sawit di lingkungan masyarakat Papua umumnya dan secara khusus orang Arfak. Kekurang perhatian pada aspek sosial budaya tampak pada kasus keterlibatan petani Arfak dalam aktivitas sebagai petani PIR dan peningkatan kesejahteraan yang diharapkan.

Beberapa aspek budaya Arfak, seperti pola pertanian subsistem dengan sistem perladangan berpindah - pindah yang dikenal sejak nenek moyang tidak mudah ditinggalkan; pola tempat menetap bersama keluarga luas (extended family) diganti dengan bentuk pemukiman untuk keluarga inti, solidaritas antar kerabat sangat tinggi sehingga kecenderungan untuk meninggalkan areal transmigrasi lokal PIR kelapa sawit mengakibatkan terjadi sewa- menyewa lahan berbulan - bulan bahkan menjual lahan kepada orang luar; terdapat kepercayaan terhadap suangi (Black Magic) sebagai akibat budaya balas dendam dan menggunakan tenaga petani penyakap dengan sistem balas jasa.

Aspek - aspek budaya lokal umumnya kurang menjadi perhatian pemerintah pusat dan pemerintah Daerah dalam melaksanakan program pembangunan pertanian, khususnya kelapa sawit di Papua. Pemerintah hanya berpikir memperoleh income berupa pajak dari para investor dan memperkaya para investor yang adalah para kapitalis,  tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakat.  Padahal penduduk lokal telah kehilangan hak - haknya atas tanahnya. 

Pemerintah Daerah Kabupaten - kabupaten  di  Papua dan Papua Barat, seyogyanya lebih menunjukkan keberpihakkan kepada orang asli Papua. Bila perlu menolak berbagai program pembangunan yang semata - mata hanya mengeksploitasi sumber daya alam dan perampasan tanah ulayat masyarakat adat untuk kepentingan para kapitalis. Pemerintah seyogyanya melindungi masyarakat dan hak penguasaan Sumber daya alam serta berupaya,  menggandeng para stekholder khususnya para akademisi  untuk melakukan studi tentang pontensi daerah sehingga pemerintah daerah dapat mengembangkan potensi daerahnya sebagai pemasukan Pendapatan Asli Daerah ( PAD). Jangan mudah mengambil keputusan dan kebijakan pembangunan khususnya melepaskan berhektar - hektar tanah ulayat masyarakat Papua, yang pada akhirnya hanya "memarginalkan" dan "memiskinkan" orang Papua Sendiri.

Transmigrasi dan Pemekaran Daerah Papua: Kemasan berbeda tetapi isinya sama.

Pembangunan nasional bertujuan memberikan kesejahteraan kepada seluruh bangsa Indonesia mulai dari Sabang di bagian barat NKRI sampai ke Merauke yang terdapat di wilayah paling timur. Berbagai upaya dilakukan mulai dari melaksanakan pemerataan penduduk melalui program Transmigrasi hingga program kesehatan yang termanivestasi dalam program Keluarga Berencana.

Pemerataan pembangunan lewat program trasmigrasi dilakukan dengan cara memindahkan penduduk dari pulau - pulau yang berpenduduk padat, seperti perpindahan penduduk dari Pulau Jawa ke Pulau Kalimantan dan Papua. Transmigrasi juga dilakukan pada penduduk yang menempati daerah kritis seperti beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur.

Program transmigrasi merupakan salah satu program pembangunan yang telah berlangsung lama, bahkan pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia pun, program ini telah dilakukan, misalnya pemindahan penduduk dari Pulau Jawa ke Suriname dan Lampung. Program ini bagi pemerintah sangat penting dilakukan guna  pemerataan penduduk. Beberapa tahun belakangan ini program ini tidak dilaksanakan lagi, khususnya program transmigrasi ke Papua dan Papua Barat.

Tentunya penolakan terhadap program transmigrasi ke Papua didasari oleh beberapa alasan yang sangat logis, misalnya kompensasi ganti rugi atas tanah adat, perhatian pemerintah seolah - olah hanya ditujukan kepada para transmigrasi. Perhatian itu tampak dalam upaya pembangunan infrastruktur jalan, jembatan dan penyediaan lahan dan tempat tinggal untuk para transmigrasi. Masyarakat asli kehilangan areal berburu dan meramu serta tempat berladang. Kehadiran transmigran pun tidak luput dari berbagai persoalan sosial yang menciptakan kesenjangan antar masyarakat lokal dan transmigrasi. Kedatangan transmigrasi pun kemudian memotivasi migrasi spontan yang tertarik dengan keberhasilan kerabatnya yang mengikuti transmigrasi.

Pertambahan penduduk terus meningkat dari tahun ke tahun. Fenomena ini pun mendorong pemerintah daerah menolak pelaksanaan transmigrasi ke Papua. Walaupun demikian, program lain lagi di laksanakan pemerintah yakni memberikan ijin pembukaan daerah administratif baru dengan melakukan pemekaran kabupaten/ kota serta distrik - distrik. Sebenarnya tujuan pemerintah  mulia, agar daerah terisolasi dapat menikmati berbagai program pembangunan. Namun dibalik itu, sebenarnya program pemekaran ini tidaklah berbeda dengan program trasmigrasi, karena memiliki misi yang sama meningkatkan exodus para migran spontan dari luar Papua untuk memadati daerah - daerah pemekaran di Papua. Fenomena ini tampak nyata dengan kehadiran para migran spontan yang memadati daerah pemekaran baru. Meningkatkan paham etnosentrisme dan primordialisme di kalangan orang Papua. Sesama orang Papua saling membatasi akses untuk orang Papua lainnya, sedang para migran dari luar menikmati "kebebasan"  lebih bersemangat menarik kerabat dan kenalannya untuk memadati pemukiman - pemukiman baru.

 Jadi program pemekaran daerah dan trasnmigrasi sebenarnya memiliki misi sama tetapi "kemasannya" saja yang berbeda.  Fenomena ini bukan isapan jempol karena hingga kini perbandingan jumlah penduduk pendatang atau non Papua 56% dan Orang Asli Papua 44 %. Pemerintah daerah terutama para elit lokal Papua seharusnya lebih bijak memilah dan memilih serta memutuskan program pembangunan yang menguntungkan orang Papua bukan memarginalkan.

Natal Momen Paling Bahagia Bagi Orang Papua . By.. Monica Nauw

 Natal atau kehiran Yesus adalah momen bahagia bagi semua umat Kristen di dunia dan khusus umat Kristen di Papua.  Pulau Papua yang merupaka...