Rabu, 14 Desember 2022

Natal Momen Paling Bahagia Bagi Orang Papua . By.. Monica Nauw

 Natal atau kehiran Yesus adalah momen bahagia bagi semua umat Kristen di dunia dan khusus umat Kristen di Papua. 

Pulau Papua yang merupakan pulau terbesar nomor dua di dunia setelah Green Land. Penduduk Papua mayoritas beragama Kristen. Sejak masa pemerintah Belanda, pulau dibagi menjadi dua wilayah persebaran agama, yaitu bagian Utara adalah wilayah zending atau Kristen Protestan dan wilayah Selatan termasuk wilayah misi atau Kristen Katolik. Namun dalam perkembangan dengan adanya kekurangan tenaga atau petugas gereja akhirnya ada daerah di Utara maupun selatan dilayani pihak zending maupun Misi.

Pengaruh penyebaran agama menyebabkan terjadinya transformasi budaya yang sangat besar dalam kehidupan orang Papua. Berbagai ritual yang dilakukan diganti dengan ritual gerejani, seperti Natal dan Paskah.

Natal adalah momen paling bahagia dalam kehidupan orang Papua. Kehadiran Natal ditandai dengan bunyi - bunyian, seperti bunyi petasan dan bunyi dentuman meriam buatan kreasi anak - anak. Ketika bunyi - bunyian terdengar, menjadi sebuah tanda bahwa telah memasuki bulan Desember. Bulan yang dinantikan orang Papua dengan penuh sukacita.

Tanda - tanda lain yang tampak sebelum Natal adalah dipajang pohon Natal dan pernak-pernik Natal di kantor - kantor pemerintah dan swasta. Warga kota menghias kota dengan cara membersihkan rumah, mengecat, dan menghias rumah dan halamannya dengan ornamen serta pernak-pernik Natal dengan diiringi irama melodi Natal, membuat suasana menyambut Natal semakin semarak. Toko - toko dan pedagang kaki lima menjual pohon Natal serta berbagai pernak-perniknya. Toko - toko, pasar  dan kaki lima dipenuhi warga kota, berbelanja pakaian dan berbagai kebutuhan menyambut Natal. Mereka semua berusaha mendapat perlengkapan Natal yang terbaik.

Para pengusaha dan pedang menjual dan menawarkan berbagai produk terkait dengan Natal. Para pedagang makanan telah menyiapkan aneka kue kering dan minuman serta menyiapkan bahan makanan dan sayur - sayur yang dipasok dari daerah lain, terutama wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. 

Pada momen Natal, para pengusaha dan pedagang memperoleh surplus dari harga jual produk yang ditawarkan di pasar. Pada momen Natal terlihat orang Papua sebagai kelompok konsumtif. Banyak uang dihabiskan untuk momen paling bahagia ini.Seminggu sebelum Natal semua kebutuhan telah disediain. 

Dibalik hiruk pikuk dan gema melodi natal yang merdu menyambut natal, momen yang paling bahagia ini, tampak perbedaan kelas sosial. Kelas atas yang termasuk di dalamnya elit lokal, pejabat pemerintah dan pengusaha. Kelas menengah pegawai negeri dan pedagang. Kelas ekonomi bawah adalah masyarakat kebanyakan yang berasal dari kelompok buruh dan petani subsisten. 

Dari ketiga kelas sosial ini, kelas sosial  bawah yang mengalami kesulitan dalam memenuhi keinginan untuk merayakan Natal. Mereka ingin merayakan Natal dengan penuh suka cita, namun keterbatasan dana membuat mereka harus berusaha ekstra untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarganya menyambut natal.

Saya punya satu cerita tentang kisah nyata, bagaimana seorang mama berusaha menjual hasil kebun untuk dapat merayakan Natal bersama keluarganya. 

Empat tahun lalu, tepatnya jam 16.00 Sore, saya ke pasar membeli bumbu yang lupa dibeli pada pagi hari. Saya beli setumpuk rica (cabe) pada seorang mama. Saya melihat jam telah menunjukkan pukul 16.30, lalu bertanya kepada mama itu:.mama tinggal di mana?.  kemudian mama itu menjawab saya tinggal di salah satu kampung  dipinggiran kota kami. Sambi menunggu rica (cabe) dimasukkan dalam plastik kresek yang selalu disediakan untuk mengisi barang jualan ketika dibeli oleh para pembeli. Saya pun bercerita dengan mama tersebut. ,

Sebentar lagi sudah malam Kudus eh, mama itu menanggapi dan berkata iyo anak. Mama dari kemarin siap barang jualan , upaya ada uang sedikit untuk beli daging babi atau ayam untuk masak dan makan habis ibadah di gereja. Setelah menghitung jumlah uang yang diperoleh cukup untuk membeli bahan makanan, mama itupun mengemasi sisa jualannya lalu pergi. 

Cerita di atas,  adalah sepenggal, mama harap cerita tentang bagaimana orang Papua memaknai Natal sebagai momen sukacita atau paling bahagia dalam hidup. Satu hal penting yang menurut saya dan perlu menjadi perhatian para pembuat kebijakan, yakni perlu dibuat program bantuan sosial pada momen Natal untuk membantu keluarga prasejahtera, janda dan anak Yatim serta para difabel, supaya merekapun  dapat merayakan Natal penuh sukacita.


Minggu, 04 Desember 2022

SAGU POHON KEHIDUPAN ORANG PAPUA. By. Monica Nauw.

 SAGU POHON KEHIDUPAN ORANG PAPUA DENGAN MULTI FUNGSI

Sagu adalah tanaman lokal khas Papua, sebagai tanaman penghasil Pati dari family arecaceae. Sagu dikonsumsi orang Papua sebagai makanan lokal. Sagu diolah dengan berbagai cara, antara lain dengan cara bakar, panggang, dan menggunakan air panas. 

Cara pengolahan Sagu bakar dilakukan dengan cara, sagu dibungkus dengan jenis sayur tertentu, seperti sayur gedi yang telah dibumbui garam lokal, kemudian dibungkus dengan kulit kayu lalu dikuburkan dalam tumpukan bara api, jika telah mengeluarkan bau harum, itu pertanda sagu telah masak dan siap disajikan untuk dikonsumsi bersama daging babi. Daging babi pun  diolah dengan cara yang sama. 

Mengolah sagu dengan cara bakar in,i merupakan cara mengolah  makanan pada  suku - suku Pedalaman wilayah Kepala Burung Papua yang termasuk wilayah budaya Domberai, sepert suku Meybrat.

 Cara kedua dalam mengolah sagu adalah dengan cara asar. Sagu asar dilakukan dengan dua cara. Cara yang pertama, sagu dicampur dengan kacang dan jenis sayuran tertentu lalu dibungkus dengan daun kemudian   diasar di atas bara api hingga masak dan disajikan dengan daging babi untuk disantap.

 Cara asar yang kedua dikenal dengan sagu forna.  Sagu forna membutuhkan proses  pengolahan  lebih rumit dan membutuhkan waktu serta kesabaran. Sagu yang hendak diolah, terlebih dahulu diayak dan dijemur. Untuk menjemur membutuhkan panas matahari yang cukup agar sagu benar kering, kemudian sagu dimasukkan dalam forna.  Forna adalah alat atau wadah yang terbuat dari tanah liat. Sebelum sagu diolah, alat tersebut dipanaskan terlebih dahulu,  lalu diasar atau dipanggang  di atas bara api.  Forna berbentuk persegi panjang yang di dalamnya dibuat sekat - sekat, sagu dimasukkan pada setiap sekat, kemudian di asar atau dipanggang, sagu telah matang  berbentuk persegi panjang. Sagu forna dapat bertahan lama. Sagu forna biasanya menjadi makan pagi atau sarapan.

Cara ketiga adalah pengolahan makanan yang dikenal dengan nama papeda. Pengolahan papeda dilakukan dengan cara,  sagu dimasukan dalam wadah kemudian diberi sedikit air dingin dan perasan jeruk dan disaring untuk membersihkan dari kotoran setelah itu dituangi dengan air panas medidih sambil diaduk hingga menjadi adonan atau dikenal dengan papeda. Papeda dimakan dengan menggunakan ikan kuah kuning. Papeda dikonsumsi oleh semua suku di Papua, terutama suku - suku yang wilayah ekologinya ditumbuhi tanaman sagu.

 Tiap suku menggunakan peralatan konsumsi berbeda - beda, seperti suku Sentani, air dimasak dalam wadah tanah liat dan dimasak hingga mendidih kemudian digunakan untuk membuat papeda. Begitu pula  untuk memasak ikan. Setelah ikan dibersihkan, dimasukan dalam air yang telah didihkan lalu dimasukkan bumbu dan kemudian dimasak  dalam wadah tanah lia hingga matang dan siap untuk disajikan. Pada saat ini olahan telah mengami perubahan, bentuk menu dan cara pengolahannya.

Cara pengolahan sagu lainnya yang dikenal dengan sebutan papeda bungkus. Cara pengolahan papeda  dibungkus dengan daun, Papeda setelah dibungkus akan  dibiarkan semalam kemudian dimakan pada keesokan harinya. Papeda bungkus adalah makanan tradisional suku - suku di wilayah budaya Tabi atau Dofonsoro, atau wilayah kota dan kabupaten Jayapura seperti suku Sentani, Tabla, Abrab dan lainnya.

    Tanaman atau tumbuhan sagu, menurut Ruddle at.al, ada 8 (delapan) jenis sagu yang tersebar di berbagai belahan penjuru bumi ini, yaitu arecastrum, arenga, caryota, corypha, eugeissona, mauritia, metroxylon dan roystonea. Genus sagu yang banyak terdapat di Irian jaya adalah genus metroxylon( Ruddle dalam Mansoben,1990). 

Tanaman sagu dari Genus metroxylon tumbuh diberbagai daerah di Papua pada tiga zona ekologi dari empat zona ekologi dan ekosistem berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh Walker dan Shoemaker (Muller, 2000), yaitu zona ekologi dan ekosistem pantai, rawa dan muara sungai zona ekologi dan ekosistem pantai dan zona ekologi dan ekosistem kaki - kaki gunung dan lembah - lembah kecil.

  Suku - suku asli Papua yang bermukim di dalam zona ekologi dan ekosistem tersebut memiliki kearifan tentang tanaman sagu, seperti suku - suku di kabupaten Waropen, suku Kokoda di Sorong Selatan, Suku Wamesa di kabupaten Teluk Wondama, Suku Sentani dan suku Tabla di kabupaten Jayapura , suku Abrab di kabupaten Keerom . suku Kamoro di kabupaten Mimika, suku Asmat, suku Kimaam dan suku Marind Anim serta Koroway di Kabupaten Merauke.

     Orang Papua dalam tiap tradisi memiliki kearifan lokal dalam klasifikasi sagu. Cara pembedaannya, berdasarkan jenis sagu berduri dan tidak berduri. Pembedaan juga berdasarkan isi dan bentuk Pati sagu. Orang Sentani adalah salah satu suku yang memiliki kearifan tentang sagu. Suku ini mendiami pinggiran danau Sentani di wilayah administrasi Kabupaten Jayapura. Mereka memiliki hubungan geneologis dengan suku - suku yang mendiami wilayah pesisir teluk Youtefa, seperti orang Tobati, Enggros dan Nafri. Persamaan diantara tampak dalam ciri - ciri fisik, Struktur sosial dan persamaan istilah tertentu dalam bahasa.

      Suku Sentani mengklasikan sagu ke dalam dua jenis yaitu sagu berduri dan sagu licin atau tidak berduri. Sagu berduri memiliki kandungan Pati lebih banyak dibandingkan sagu licin, namun mereka cenderung mengkonsumsi sagu licin karena rasanya lebih enak.

       Orang Sentani membedakan Sagu licin ke dalam 9 (sembilan) jenis berdasarkan daun, isi Pati, batang dan durinya, sebagai berikut: Rando, para, yepah, follo, monggon, ruruna, yakhalope, manno dan panne ( Monica Nauw, 2019). Sagu jenis yepah biasanya disediakan untuk dikonsumsi dalam acara adat, sedangkan sagu jenis pane memiliki kualitas kurang baik, sehingga biasa sagu jenis ini ditebang untuk menghasilkan jamur sagu dan juga dijadikan perangkap untuk menjerat babi hutan.

        Kearifan ekologi sagu orang Papua umumnya, dan khususnya orang Sentani perlahan- lahan hilang. Proses enkulturasi pengetahuan alam flora dari generasi ke generasi tidak dapat dilakukan lagi dengan hilangnya beribu pohon sagu. Padahal menurut menurut Profesor Herman Yohanes ahli bahan bakar non konvensional mengatakan hutan sagu di Irian jaya saja, dapat memberi makan 535 juta anak cucu Adam dan Hawa ( Herman Yohanes dalam George Yunus Aditjondro, 2003).

         Orang Papua selain memanfaatkan  sagu sebagai bahan makanan, juga memanfaatkan bagian lainnya dari pohon sagu, seperti daun sagu untuk membuat atap rumah dan wadah untuk menaruh, pelepah sagu untuk dibuat wadah untuk menaruh, batang sagu untuk membuat lantai ruah dan jembatan, lidi sagu untuk membuat sapu serta getah pada pelepah dan pati sagu digunakan untuk mengobati penyakit, seperti cacar air.

         Hilangnya pohon sagu di Papua terjadi dengan sengaja karena adanya pendapat bahwa manusia Indonesia lebih baik mengkonsumsi nasi dari bulir - bulir padi dari pada sagu. Hal tersebut nampak dengan ditebang beribu hektar hutan sagu untuk menanam padi dan hutan sagu dibabat untuk pembangunan infrastruktur jalan raya.  Tindakan tersebut menunjukan bahw tanaman sagu adalah tanaman kelas dua dibanding tanaman padi. Padahal sagu memiliki kandungan karbohidrat yang sama dengan padi, malah sagu mempunyai keunggulan menimalisir kadar gula dalam tubuh manusia. Dengan demikian sagu di Papua perlu dikonservasi untuk menjandi sumber pangan lokal guna menjaga ketahanan pangan Nasional. 


        

      

Kamis, 01 Desember 2022

Papua Bak Negeri Alladin

 Papua Pulau paling timur dari semua pulau di Indonesia ini, ibarat negeri Aladin. Si Aladin adalah tokoh dongeng Aladin dan Lampu Ajaib dalam cerita 1001 malam. Dongeng ini adalah cerita dari Persia yang ditulis oleh  Manirot Suriah dan dipopulerkan oleh Antoine Galland penulis ASal Prancis.

Aladin adalah seorang anak Yatim yang tinggal bersama ibunya dengan seekor monyet piaraanya. Suatu ketika Dewi Fortuna mendatang keberuntungan bagi dengan ditemukannya lampu ajaib. Lampu ini dijaganya dengan sangat baik karena dapat menjawab semua permintaan Alladih hanya dengan menggosokkan lampu itu dan berkata Abra ka dabra, make semua terjadi sesuai keinginannya.

Kehidupan orang Papua dan berbagai fenomena yang terjadi ibarat lonceng ajaib yang dimiliki oleh Alladin. Segala sesuatu yang tidak mungkin terjadi dapat terjadi sesuai keinginan Alladin.

Semua fenomena sosial budaya, ekologi, ekonomi dan politik terjadi Serta berubah  dengan begitu cepat sesuai keinginan penguasa ibarat  Aladin si pemilik lampu  ajaib.

Perubahan - perubahan dalam berbagai sendi kehidupan orang asli Papua terjadi dengan cepat, menimbulkan dampak bagi masyarakat lokal ( OAP). Protes hingga penolakan, namun perubahan  yang tidak dikehendaki itu tetap terjadi sesuai keinginan para pengusaha. 

Perubahan yang tidak dikehendaki masyarakat adat Papua, namun tetap terjadi sesuai keinginan Aldin  pemilik lampu ajaib,

 Perubahan pola pertanian subsisten menjadi pertanian mono kultur dengan orientasi pasar atau perkebunan kelapa sawit. Perubahan ini tidak dikehendaki dan  ditolak oleh masyarakat adat Papua ( Kasus Suku Awyu dan suku MOI) . Penolakan terjadi karena masyarakat melihat kerusakan lingkungan dalam wilayah Ulayat mereka, dengan ditandai dengan hilangnya tempat berburu dan meramu, lahan berkebun, tempat meramu tanaman obat, daerah pamali (sakral) dan hilangnya kearifan ekologi yang dimiliki. Penolakan hingga perlawanan dilakukan oleh masyarakat adat namun tidak mampu menyentuh hati Alladin atau para penguasa.

 kerusakan lingkungan terus terjadi walaupun protes terus dilakukan masyarakat tetapi tidak dapat menyentuh hati si Aladin. Fenomena perubahan lingkungan terjadi sesuai keinginan Alladin sambil menggosok lampu ajaibnya dan berkata Abra ka dabra, maka terjadi yang dikendakinya. Dengan demikian slogan "Papua bukan Tanah Kosong" tidak bermakna bagi Alladin.

Perubahan terus terjadi dari sepanjang waktu. Perubahan sangat besarpun terjadi  dengan dilakukannya pemekaran Papua menjadi 6(enam) Propinsi. Pemekaran daerah menurut orang bijak harus dipertimbangkan dengan baik.  Terdapat beberapa persyaratan terbentuknya DOB tetapi untuk Papua diperlakukan berbeda dengan wilayah lain, seperti jumlah penduduk yang sangat sedikit, dapat dilihat dari jumlah penduduk setiap kabupaten dan distrik  pemekaran .

Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik tahun 2022, Propinsi Papua dan Papua Barat termasuk rangking terendah dengan kategori daerah termiskin di Indonesia. Papua dengan kategori daerah miskin seharusnya dapat menyentuh hati Aladin untuk tidak menggosok lampu ajaibnya dan berkata Abra ka dabra dan terjadi sesuai kehendak pemekaran DOB di Papua. Padahal orang tua kami yang tinggal di dusun saja tahu kondisi kritis ekonomi yang akan terjadi tahun depan. Kitong harus bikin kebun tanam dan tokok sagu supaya tidak kelaparan.

Perubahan yang diharapkan membawa kesejahteraan tetapi dapat terjadi sebaliknya seperti pendapat Dr. Agus Sumule seorang akademisi Universitas Papua (2022) "Masyarakat Papua sedang dibawa masuk ke  dalam lorong kegelapan". 

Fenomena - fenomena sosial budaya, ekologi, ekonomi dan politik serta keamanan yang terjadi hendak dilakukan ditanggapi secara bijak oleh semua orang asli Papua (OAP) untuk kepentingan masyarakat dengan berani menolak, jika perubahan itu belum saatnya terjadi.  



Natal Momen Paling Bahagia Bagi Orang Papua . By.. Monica Nauw

 Natal atau kehiran Yesus adalah momen bahagia bagi semua umat Kristen di dunia dan khusus umat Kristen di Papua.  Pulau Papua yang merupaka...